Jumat, 07 Maret 2008

Kunci Berfilsafat


Oleh Postinus Gulö *

Konon, filsafat pertama kali dicetuskan oleh Pythagoras (582-496 BC). Kala itu, Pythagoras menyebut dirinya sebagai philosophos, “kawan kebijaksanaan”. Itu sebabnya, etimologi filsafat adalah philos berarti cinta, sahabat, kawan. Dan, Sophos (sophia) berarti kebijaksanaan, hikmat, pengetahuan. Jadi, seorang filsuf adalah sahabat, pencinta dan pencari kebijaksanaan. Konsep Pythagoras tentang filsafat perlu kita ketahui bersama. Tujuannya adalah agar kita jangan dan tidak rancu serta salah kaprah memahami apa itu filsafat dan bagaimana kita berfilsafat. Pythagoras mengatakan bahwa hanya Tuhanlah yang memiliki kebijaksanaan sempurna. Dan, Tuhan adalah sumber kebijaksanaan.

Manusia hanyalah sebagai “sahabat kebijaksanaan”. Itu sebabnya – dikemudian hari - Plato mengejek para sofis karena mereka-mereka ini mengklaim diri sebagai orang yang merasa tahu memberi jawaban atas semua pertanyaan. Padahal, mereka sebenarnya tidak tahu. Para sofis hanyalah orang-orang yang cerdas secara retorik! Mereka adalah orator-orator ulung yang mampu menghipnotis massa. Menurut Ernst Cassirer, tujuan para sofis ber-retorika hanyalah demi mencari uang atau untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka kehendaki. Dari uraian ini, maka ada beberapa “kunci” yang mesti diperhatikan dalam berfilsafat.

Pertama, seseorang yang berfilsafat dan yang mempelajari filsafat bukan justru menjauh dari kebijaksanaan melainkan mencari kebijaksanaan. Dengan kata lain, orang yang belajar filsafat bukan menjauh dari iman (karena ini juga butir-butir kebijaksanaan). Tom Morris menyebut bahwa wisdom dapat diperoleh dari intensitas kita mempelajari filsafat dan religi (teologi).

Kedua, seseorang yang berfilsafat harus menyadari bahwa kebijaksanaan itu memiliki wajah yang plural (setiap suku bangsa memiliki kebijaksanaan atau kearifan lokal). Singkatnya, kebijaksanaan tidak hanya satu, percik-perciknya banyak. Yang satu adalah sumber kebijaksanaan, yakni Allah.

Ketiga, seseorang yang berfilsafat tidak tepat jika ia mengklaim diri sebagai orang yang “paling” benar, orang yang telah menemukan kebijaksanaan sempurna. Sepanjang manusia masih hidup, ia harus selalu dalam ruang pencarian. Semakin mencari kebijaksanaan berarti semakin mengarahkan diri pada sumber kebijaksanaan itu sendiri.

Keempat, tesis-tesis para filsuf, sejatinya hanyalah hipotesis. Sebab, tesis-tesis tersebut masih terbuka pintu kemungkinan untuk “disempurnakan” oleh para pemikir lain. Seperti kata Karl Popper, sifat dari pengetahuan adalah tentatif. Paling banter mendekati kebenaran. Ada hal penting yang disasar di sini, yakni ketika kita merasa telah menemukan kebenaran, lantas kita stagnan merayakan penemuan itu. Akibatnya, tidak ada usaha untuk mencari pengetahuan yang lebih sempurna dan pengetahuan yang lebih banyak menjelaskan. Pengetahuan yang telah ada itu harus difalsifikasi agar kebenarannya semakin teruji.

Kelima, mereka yang berfilsafat dan belajar filsafat idealnya adalah figur-figur yang mengarahkan dan mendorong massa mendekati kebijaksanaan. Bahkan, para filsuf idealnya adalah orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah (problem solver) secara bijaksana dan bukan justru menambah masalah. Jika para filsuf menciptakan gagasan baru idealnya mereka harus mampu menjawab permasalahan yang ditimbulkan oleh gagasan itu.

Keenam, seseorang yang berfilsafat, yang mempelajari filsafat atau para filsuf idealnya adalah tokoh-tokoh heroik yang peka melihat kelemahan dan keunggulan suatu gagasan serta mampu mensintesiskannya. Bahkan idealnya, mampu membaca fenomena kehidupan, roh zaman (zeitgeist). Singkatnya, para filsuf idealnya adalah orang-orang yang kritis (dekonstruktif dan rekonstruktif) dan vokalis.

Ketujuh, kebijaksanaan bukan dogma. Kebenaran bukan dogma. Dan, filsafat bukan dogma. Dengan kata lain, orang yang berfilsafat harus membuka diri pada kritik bahkan mesti mengevaluasi diri. Mengapa? Agar jangan jatuh pada pola pikir picik yang solipsis dan proselitis. Dan, yang paling penting adalah berfilsafat berarti berdialog (baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain). Seseorang tidak mungkin berkata: saya tahu tetapi saya tidak mampu mengatakannya. Gagasan, ide tentu tidaklah “dinimati” sendiri oleh pencetusnya, karena jika demikian ia sedang terperangkap dalam “masturbasi intelektual”. Ia mesti mengartikulasikan, memperkatakan gagasannya tersebut ke orang lain. Socrates, barangkali guru kita mengenai hal ini. Metode beliau dalam berfilsafat adalah berdialog dengan rakyat. Tom Morris, seorang filsuf lulusan Yale University sangat mengagumi Socrates. Soalnya, Socrateslah filsuf pertama yang membawa filsafat ke pasar. Beliau menerapkan filsafat menjadi relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, filsafat bukan wacana di menara gading.

Hari-hari ini, banyak orang yang sinis terhadap filsafat dan filsuf. Filsafat dianggap sebagai biang keladinya orang menjadi ateis. Bahkan filsafat dipandang sebagai ilmu yang mengakibatkan terjadinya “anarkhi” intelektual. Klaim-klaim yang mengerikan itu kian membabi-buta filsafat. Dan, barangkali jika filsafat itu adalah manusia, tulang-tulangnya remuk dihantam badai tekanan. Kata mereka, filsafat itu memperumit yang tidak rumit, mempermasalahkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Lebih parah lagi, ketika dunia sedang menikmati budaya instan justru filsafat memperumit hal yang jelas. Itu klaim-klaim yang sering terdengar. Ironisnya, klaim-klaim itu juga datang dari para filsuf. Jadi, aneh, bukan? Mereka memporak-porandakan diri mereka sendiri. Mereka menyayat jantung mereka sendiri!

Filsuf mutakhir, Horkheimer pernah berkata: suasana umum abad ini berada di tengah rasional instrumental.” Ucapan Richard Rorty lebih ketus lagi. Beliau berkata bahwa filsafat jatuh ke dalam “jurang” rasional pragmatis sehingga sebenarnya filsafat tidak ada gunanya. Filsafat hanyalah “kemewahan yang percuma”. Filsafat bukan menyelesaikan masalah melainkan menciptakan masalah. Filsafat hanyalah verbalisme kosong. Bahkan berfilsafat adalah pekerjaan orang pengangguran dan frustrasi. Kalaupun filsafat itu masih menarik dan berharga, hanya sebagai barang antik atau ornamen snobis (pajangan). Maka, buku-buku filsafat hanyalah menarik untuk dipajang bukan untuk dibaca. Dan, para filsuf sejatinya hanyalah orang-orang yang pingin tampak intelektual, tampak modern padahal tidak demikian pada kenyataannya.

Kritik pedas di atas tidak boleh dianggap kosong dan mengada-ada. Marilah kita jadikan sebagai pendorong bagi kita (terutama yang suka akan filsafat) untuk kembali pada visi dasar filsafat: mencari dan menjadi sahabat kebijaksanaan. Kritik-kritik ketus itu ada benarnya juga. Misalnya, ketika bidang-bidang lain begitu spesifik dan jelas justru filsafat persis diposisi kebalikannya: spesialis filsafat adalah generalis. Ini kan contradictio interminis.

Hujatan bertubi-tubi terus menusuk ulu hati para filsuf. Para saintis, misalnya, tidak suka terhadap omongan-omongan para filsuf yang kabur, fiktif, abstrak, tanpa ukuran keabsahan. Dengan kata lain, orang yang berfilsafat adalah orang yang ngomong sesuka hati. Misalnya, Schopenhouer mengatakan bahwa inti kenyataan dunia adalah kehendak buta. Tetapi datang Hegel dan berkata, bukan tapi Roh. Nah, kalau sains kan jelas. Misalnya, air mendidih 100 derajat Celsius. Tesis ini bisa dibuktikan, bukan?

Filsafat sejajar dengan sastra (novel, puisi) bukan ilmu, bukan sesuatu yang serius, tidak substantif. Seharusnya, buku-buku filsafat hanya dibaca pada waktu sengggang. Bahkan di Indonesia pun (pernah terjadi di Bandung), filsafat dianggap sebagai bahaya karena menggoncangkan “kelaziman” dan melahirkan “kezaliman” (subversi, bida’ah). Filsafat, menurut mereka yang mengklaim begitu, sangat berbahaya bagi institusi agama. Inilah sederet sumpah serapah, ejekan dan ungkapan kejengkelan terhadap filsafat.

Menurut Deleuze, filsafat bukan mencari esensi, bukan mencari yang ultimacy, bukan juga kontemplasi, bukan refleksi, bahkan bukan komunikasi yang mengarah pada konsesus (dogma, doktrin yang tertutup pada perubahan dan kemungkinan baru). Kunci dalam berfilsafat adalah berusaha membentuk, menciptakan, memproduksi konsep. Beliau berkata, filsafat adalah “the art of forming, inventing and fabricating concepts.” Dengan kata lain, filsafat adalah soal “produksi” bukan refleksi. Itu sebabnya Deleuze menciptakan makna baru (neologis). Misalnya, ia mempekenalkan kepada dunia apa itu “rhizoma” (akar serabut), “nomadisme”, dan “plateau” (tataran).

Lebih jauh, Deleuze mengatakan bahwa sebetulnya filsafat adalah “the art of setting up new possible event in accordance with new experience and understanding”, seni menciptakan kemungkinan peristiwa baru yang sesuai dengan pengalaman dan pengertian baru. Sebab, pemikiran atau gagasan itu selalu nomadik (lompat dari konsep yang satu ke konsep yang lain) dalam rangka memahami life as a flow.
Jadi, menurut Deleuze, kunci berfilsafat adalah bukan mencari “kebenaran” (bukan seperti filsafat klasik yang memburu kebenaran) melainkan menciptakan “efek” melalui gagasan-gagasan yang brilian. Dan, efek gagasan-gagasan tersebut diharapkan menerobos batas Negara (deteritorialisasi), bifurkasi, dan beranak pinang seperti amuba (poliferasi).

Richard Rorty memberi syarat dan kunci berfilsafat. Menurutnya, filsafat masih berguna jika ia berfungsi sebagai rasionalitas yang terus-menerus mengkritik dirinya sendiri atas nama kompleksitas dinamika dan ambiguitas pengalaman. Filsafat mesti menjadi kata kerja. Dengan demikian, filsafat adalah upaya terus-menerus untuk mengeksplisitkan dimensi-dimensi yang sering tersembunyi dan terabaikan dalam lebenswelt manusia.

Para pembaca budiman, uraian saya di atas, mengandung banyak kunci-kunci dalam berfilsafat. Selamat membaca! Selamat berfilsafat! Tapi ingat kita hanyalah sahabat dan bukan kebijaksanaan itu sendiri. Kita hanya philos dari sophos.

* Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Referensi:

1. Kuliah-kuliah dari Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto di Fakultas Filsafat Unpar, Bandung, 2007
2. Tom Morris, Sang CEO Bernama Aristoteles: Sukses Berbisnis dengan Kearifan Filosofis, Bandung: Mizan, 2003
3. A. Harrisusanto dalam Ensiklopedi Nasinal Indonesia, Jilid 5, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989
4. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000
5. Karl Raimund Popper, The Open Society and Its Enemies, New Jersey: Princeton University Press, 1966

Tidak ada komentar:

Bestfriends