Jumat, 07 Maret 2008

The End of Intelligence Quotient?

Dalam buku If Aristotle Ran General Motors: The New Soul Business, Tom Morris mengindikasikan (secara implisit) bahwa wisdom adalah gejala baru dalam kultur postmodern. Tren ini mengindikasikan terjadinya konvergensi (titik temu) antara dua gagasan yang berbeda (misalnya spiritualitas vs bisnis, Allah vs Mamon) yang notabene tidak bisa digabungkan oleh Yesus.

Bagi Tom Morris, making money bukanlah kegiatan yang haram seperti yang difatwakan oleh institusi religius. Cari uang (making money) adalah kegiatan sakral: kesempatan untuk memuliakan nama Allah, lahan untuk melayani Allah dan manusia sebagaimana tuntutan Yesus. Lantas, bagaimana caranya? Caranya adalah mesti membawa spiritualitas ke dalam bisnis. Mesti membawa hati nurani ke dalam dunia usaha sehingga tidak terjadi korupsi. Jadi, making money menjadi kegiatan sacral manakala bertujuan memuliakan Allah. Hal inilah yang disebut dengan manajemen berbasis hati nurani.

Trend mempertemukan dua hal yang berbeda (konvergensi) terlihat dari gejala bahwa banyak literatur, tulisan, karangan, ceramah, yang membahas tentang konvergensi. Selain itu, timbul pandangan yang holistik (lengkap) tentang akal budi. Sekitar tahun 1990-an dunia psikologi menekankan IQ (sisi kognitif). Kemampuan seseorang hanya diukur dengan IQ. Tapi sekarang, ada ilmu baru: EQ dan SQ. Pendeknya, terjadi evolusi pengetahuan dan kesadaran.


Tahap-Tahap dan pergeseran IQ ke EQ dan ke SQ

a. Intelligence Quotient (IQ)

Reason dalam IQ dianggap sebagai kemampuan menyelesaikan masalah. Menurut test IQ, semakin cerdas seseorang (secara kognitif) semakin tinggi kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Nah, bagaimana mengukur bahwa seseorang itu cerdas? Cara mengukurnya adalah membuat test IQ yang terbagai dalam dua (2) bagian. Pertama, test linguistik. Dan kedua adalah test matematika. Melalui test linguistik, seseorang ditest kemampuannya untuk memahami ide atau kata. Test ini sama dengan textual understanding.

Seseorang ditest kemampuannya untuk memperkaya teks dengan pengalamannya sendiri. Konkretnya, yang ditest adalah kemampuan mengarang, kemampuan naratif seseorang. Contoh: bagaimana merangkai kata “matahari terbit, petani, kerbau” menjadi satu karangan logis dan saling berkaitan. Melalui test ini, seseorang ditest kemampunnya bagaimana dia mengolah kata dan data. Singkatnya, yang diharapkan dari test IQ adalah mampu mengetahui kemampuan kognitif seseorang sejauh mana seseorang itu mengetahui banyak hal (to knowing something). Selain itu, untuk mengetahui psiko-motorik, yakni sejauh mana seseorang mampu melakukan sesuatu (to do something or to operate something).

b. Emotional Quotient (EQ)

Sekitar tahun 1990-an seorang psikolog, Daniel Goleman memunculkan istilah baru dalam dunia psikologi dan istilah ini langsung ditangkap dan ditanggapi publik. Beliau mempromosikan istilah “EQ”. Goleman mengamati bahwa ada bagian hidup yang (ter/di)abaikan padahal paling penting, yakni dimensi “living and working together”. Ini adalah fakta yang terus-menerus dihayati manusia. Manusia mau tidak mau harus bekerjasama. Oleh karena itu EQ sangat dominan di wilayah ini. EQ bisa mengganggu bisa juga mengembangkan pribadi manusia.

Dulu, faktor emosional sering dianggap negatif. Lantas, Goleman meneliti EQ apakah emosional bernilai positif. Ternyata emosional sangat positif dan sangat menentukan dalam dunia kerja. Semakin tinggi EQ semakin positif dan semakin turun EQ semakin negatif. Seseorang yang memiliki EQ tinggi akan mampu menyadari “feeling and mood” apa yang terpendam. Ada dua manfaat dari kemampuan menyadari feeling and mood.

Pertama, memberi kombinasi antara self control (control diri) dan self motivation (motivasi diri) sehingga seseorang mampu mendahulukan mana yang mesti diprioritaskan. Self control sangat penting agar kita tidak “moody” tidak angin-anginan, tidak mudah eksplosif (meledak-ledak, menekan orang, bertengkar melulu). Melalui self control, seseorang diharapkan mengutamakan kewajiban daripada perasaan, kepentingan ego.

Kedua, untuk meningkatkan kemampuan menyadari perasaan orang lain (daya empati). Yang terakhir ini memiliki dua manfaat. Pertama, daya empati memperlancar konsensus ketika terjadi misunderstanding. Kedua, daya empati meningkatkan daya compassion, murah hati: kemampuan untuk merespons suka-duka orang lain.

Dengan cara ini (menyadari dimensi EQ), maka seseorang menjadi partner/rekan dan neighbor (sesama). Melalui “bersama” orang lain, EQ berusaha menjawab pertanyaan Kain: apakah aku penjaga adikku? Pertanyaan Kain ini pertanda bahwa ia tidak peka, menghindar dari tanggungjawab dan kewajiban. Dan, dalam uraian di atas, pertanyaan Kain ini sudah terjawab: bahwa Kain adalah penjaga adiknya!


c. Spirituality Quotient (SQ)

Sekitar tahun 2000-an ketika terjadi peralihan millennium, timbul trend dan istilah baru, yakni Spirituality Quotient (SQ). Pencetusnya adalah Danah Zohar, dan suaminya, Ian Marshall. Sebelumnya sudah saya bahas bahwa IQ mau memecahkan masalah knowing and doing, dalam arti bagaimana mengetahui lebih baik dan mengerjakan lebih baik. Dengan kata lain, IQ memberi kita kompetensi. Sedangkan EQ mau memecahkan dan menjelaskan living and working together, dalam arti bagaimana menciptakan harmoni dan suasana kondusif dalam pergaulan sehari-hari. Singkatnya, EQ membangun ko-eksistensi (eksis/rasa berdampingan bersama orang lain).

Nah, SQ itu mau memecahkan apa? SQ berurusan dengan masalah being and becoming (berada dan menjadi). SQ mau memecahkan masalah: bagaimana menjadi pribadi yang benar dan baik. Dengan kata lain, SQ mau memberi nasihat tentang otensitas kepada kita. Otensitas adalah keaslian dan kesejatian karakter. Lawannya adalah munafik, seperti orang Farisi. Selain itu, SQ mau memecahkan problem mengapa kita mesti “care” pada orang lain, atau pada ke-hidup-an. Membangun kedalaman SQ, dewasa ini, amatlah penting. Apalagi dunia sedang dilanda budaya kematian: berusaha membunuh yang lain. Mereka yang terjerembab ke budaya ini, semoga menyadari bahwa tindakan tersebut tidaklah baik dan tidak bijaksana.



* Artikel ini sangat dipengaruhi oleh kuliah-kuliah yang diberikan Pst. Agustinus Rachmat Widiyanto, OSC., L.Ph dalam matakuliah Seminar Filsafat dan Teologi di Fakultas Filsafat Unpar, Bandung.

Tidak ada komentar:

Bestfriends