Jumat, 07 Maret 2008

Merawat Pikiran

Postinus Gulö*


Dalam bukunya “How to Have a Beautiful Mind”, Edward de Bono dengan percaya menguraikan: hampir semua manusia tidak pernah memperhatikan “kesehatan” pikirannya. Manusia hanya sibuk memperhatikan kesehatan fisiknya. Kecenderungan manusia semacam ini kian melilit pikiran manusia zaman kiwari. Kalau tidak percaya, cobalah Anda amati perilaku generasi global. Adalah seorang pendukung berat gejala semacam ini berkata: “darker skin means healthier body, it’s sexier”.


Tetapi jangan heran. Gejala ini bukan barang yang jatuh dari langit. Di belakang fenomena itu, biopolitical sympton yang mempropagandakannya dengan kampanye nilai: cantik, wellness, healthy, kurus, ganteng. Kampanye ini ternyata sukses: produk industri “diet” sangat laris. Propaganda “values” semacam ini adalah barang dagangan industri hiburan dan informasi yang kian menghipnotis siapa saja yang memang tak selektif. Melihat gejala semacam itu, mungkin ada benarnya apa yang pernah dilontarkan oleh Michel Foucault: jika dulu, yang menjadi pan-optikon atau control bagi manusia adalah institusi disiplin seperti sekolah, penjara, polisi, sekarang yang menjadi pan-optikon adalah industri iklan dan informasi.



Yang memprihatinkan, propaganda “values” dari produksi biopoliticak ini bukan hanya menerobos dunia sekuler, tetapi juga dunia spiritual. Oleh karenanya ada spiritual business. Lantas, mengapa banyak orang yang terjerumus dalam biopolitical ini? Mungkin karena ia menawarkan banyak pilihan. Ia juga mampu menyentuh kekosongan batin manusia, mampu menjawab manusia yang belum puas dengan tubuhnya. Uraian di atas kalau tidak percaya, coba lihat saja situsnya: BBC News Asia-pasific china’s changing skin colour.


Di sana Anda akan terperangah dengan slogan-slogan generasi korban iklan. Padahal, menurut Edward de Bono, seseorang mampu berelasi baik dengan orang lain bukan karena ia seksi, bukan karena ia kurus, bukan karena fisiknya aduhai melainkan karena pikiran seseorang itu sehat: mampu berpikir positif, mampu mengendalikan egonya. Apakah resepnya hanya ini? Tentu tidak! Senyum dan sapaan adalah kunci utama. Ketika Anda bertemu dengan orang lain, lebih baik Anda menyapanya daripada Anda mencibirkan bibir. Ketika ada seseorang yang mulai bicara, dengarkanlah dia, tanpa harus anda kumpulkan di otak Anda “pengandaian” miring yakni kecurigaan.


Ketika ada yang mengajak Anda untuk bicara, dengarkanlah ia. Berilah perhatian kepadanya. Berilah waktumu, jangan terlihat terburu-buru. Dan jika memang Anda tidak punya waktu, ada baiknya jika menolak dengan sapaan yang halus: aku senang bertemu dengan kamu. Aku senang sekali berbicara dengan Anda, tetapi saya juga punya pekerjaan lain. Kalau boleh ada usul saya: kapan ada waktu kamu, selain sekarang, saat itu kita berbicara. Sikap “curiga”, kata Bono justru menjauhkan manusia dari harmonisasi. Mengapa? Karena kecurigaan akan memancing seseorang untuk membuat sekat-sekat: ambil jarak, tidak at home jika berada di tengah orang lain; baginya, orang lain justru “mendakwa” eksistensinya.

Akibatnya, orang demikian, hanya asyik dan nyaman dengan dirinya sendiri. Dan yang lebih parah adalah orang demikian telah kehilangan rasa percaya, baik kepada orang lain maupun pada diri sendiri. Bahkan, dia sedang terjerembab dalam lembah idola gua dan dalam mentalitas solipsis, dan malah ke mentalitas proselit. Gagasan di atas, mungkin ada yang meragukannya. Itu wajar-wajar saja. Manusia mempunyai caranya masing-masing untuk bertindak dan berpikir. Manusia mampu menegasi dan mengafirmasi setiap lontaran gagasan. Manusia mampu ber-abstraksi, mampu menafsir. Tetapi harus disadari juga bahwa dalam aktivitas demikian, tak jarang manusia tertimpa human error. Itu sudah hukum alam.

Mana ada manusia yang tak pernah salah? Goethe pernah menulis: selagi manusia berusaha pasti ia pernah melakukan kesalahan dan jika manusia tidak pernah salah malah ia tidak pernah kembali pada pikiran dan akalnya. Barangkali inilah kemisterian manusia yang dianugerahkan akal budi. Menurut Blaise Pascal, manusia adalah makhluk yang unik, homo absconditus, makhluk misteri. Mengapa? Karena manusia adalah citra Allah (imago Dei). Allah adalah misteri (Deus absconditus).

Oleh karena itu, manusia sebagai citra Allah, tentu juga absconditus. Dari gagasan ini, sebenarnya Blaise Pascal menafsir ulang gagasan St. Agustinus (tentang imago Dei) dan juga gagasan Rudolf Otto B. (tentang tremendum et fascinosum). Lantas, indikasi apa yang bisa kita tangkap bahwa manusia unik? David Perkins menjawab: salah satu keunikan manusia adalah bahwa setiap manusia memiliki perbedaan persepsi. Dan celakanya, justru perbedaan persepsi itu yang tak jarang mengakibatkan perseteruan, perkelahian, permusuhan dan ketidak-harmonisan. Ninety percent of the errors in thinking are indeed error of perception, tegas David Perkins. Dan jangan salah, persepsi adalah produk dari proses berpikir. Ia adalah kegiatan pikiran yang tak jarang manusia menjadi tidak manusiawi.

Tujuan berdebat bukan hanya mendekonstruksi gagasan melainkan juga menatanya. Jika Anda berdebat jangan tergiur oleh naluri ego Anda. Mengapa? Agar perdebatan tidak bermuara hanya pada pertempuran antara ego-ego. Perhatikan petuah ini: ketika Anda menerima persetujuan, Anda terkesan menyerah pada sudut pandang orang lain, yang berarti Anda kalah. Ketika Anda tidak setuju, Anda sedang menampilkan ego Anda dan menunjukkan bahwa Anda mungkin lebih unggul. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai atau yang tidak Anda setujui, mudah bagi Anda untuk mengecap orang itu bodoh, kurang wawasan, atau bisa menjerumuskan.


Namun, orang tersebut bisa jadi bertindak secara logis dalam gelembung logikanya. Gelembung itu berisi persepsi-persepsi, nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan, dan pengalaman-pengalaman orang tersebut. Jika Anda berusaha sungguh-sungguh melihat ke dalam gelembung itu dan berusaha untuk melihat dari mana orang tersebut berasal, biasanya Anda akan dapat memahami logika dari pendapat orang tersebut; dan oleh karenanya, Anda juga mampu menerima apa yang sedang ia pikirkan. Ini cara merawat pikiran. Tetapi bukan dengan resep spektakuler. Anda mampu meraihnya jika Anda berani mencobanya.


* Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Tidak ada komentar:

Bestfriends