Kamis, 18 Desember 2008

Kegiatan Ekonomi Harus Mengarah Pada Usaha Memanusiawikan Manusia


Oleh Postinus Gulő*

Mestinya, kegiatan ekonomi adalah proses realisasi manusia untuk memanusiawikan dirinya dan sesamanya. Jadi, kegiatan ekonomi bukan sekedar untuk mendesain manusia menjadi homo oeconomicus (manusia ekonomi) melainkan juga homo socius (makhluk sosial). Oleh karena itu, kegiatan ekonomi seharusnya di arahkan untuk menjawab kebutuhan individual sekaligus kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Jika arah kegiatan ekonomi dijalankan seperti ini maka, visi-misi kegiatan ekonomi berada pada jalur memanusiawikan manusia.


Saya sangat terinspirasi dengan tulisan tokoh ekonomi kondang: Michael Novak menyangkut gagasannya dalam aktivitas ekonomi. Tokoh ini mengidealkan manusia sebagai makhluk yang harus menghasilkan sesuatu (homo faber), harus mampu mendesain dan merekayasa hidupnya. Dalam dunia dewasa ini, agaknya benar arah pemikiran Novak bahwa manusia dewasa ini dilihat oleh pelaku ekonomi sebagai modal (capital), investasi, dan komoditi.

Memang saya tidak begitu setuju dengan pendapat ini. Sebab, jika demikian, kegiatan ekonomi justru menjadikan manusia bukan manusia lagi. Manusia menjadi sama seperti barang yang layak diperdagangkan dan dipertukarkan dengan barang.


Novak mengatakan bahwa manusia dewasa ini mestinya memiliki daya efisiensi dan keberanian berusaha. Manusia harus selalu kreatif dan produktif (harus menghasilkan sesuatu). Semua idealisme ini terealisasi jika manusia memiliki “human capital”. Lantas, apa saja human capital itu? Novak menjawab: human capital itu adalah keterampilan, intellectual skills dan bukan sekedar physical capital. Saya melihat bahwa ada human capital yang dilupakan oleh Novak, yakni: kesempatan (chance) dan popularitas (popularity). Orang kaya yang memiliki relasi bisnis yang baik (networking) akan mudah mendapat pekerjaan. Anak pejabat tentu lebih banyak kesempatan mereka, terutama jika mereka memanfaatkan popularitas orangtua mereka. Sedangkan orang miskin tidak demikian.

Bagi Novak, manusia adalah makhluk produktif. Dengan kata lain, yang dianggap oleh Novak sebagai manusia adalah hanya orang yang produktif. Manusia adalah subjek yang terpilih dan memiliki pikiran dan daya untuk mencipta. Novak, dalam tulisannya: “Economics as Humanism”(lihat www.leaderu.com/ftissues/ft9710/opinion/novak.html) mengidealkan seorang individu harus mampu mengeluarkan dirinya dari jurang kemiskinan, sebab ia memiliki kebebasan untuk memilih. Sangat disayangkan, memang, sebab dalam artikel tersebut, Novak tidak menawarkan solusi bagaimana agar kegiatan ekonomi mampu memanusiawikan rakyat miskin. Seperti kita ketahui, warga miskin tidak mampu memilih, tidak bebas dan tidak memiliki keahlian. Orang miskin, tidak mampu memilih mau kerja di mana dan kapan karena mereka tidak memiliki skill yang sesuai kebutuhan kegiatan ekonomi. Warga miskin tidak bebas memilih kebutuhan apa yang ia perlukan karena mereka tidak memiliki modal yang cukup. Warga miskin hidup dengan paksaan keadaan sosial. Warga miskin tidak mampu menguasai keadaan sosial-ekonomi!


Pada era globalisasi ini, warga miskin selalu berada di bawah tekanan kaum “kuat” yang mengeksploitasi mereka. Ada alasan yang sangat pelik mengapa warga miskin gampang dieksploitasi: warga miskin tidak memiliki human capital, yang mereka miliki hanyalah physical capital (kekuatan fisikal). Inilah yang dilupakan oleh Novak. Novak memukul rata bahwa manusia memiliki human capital padahal realitanya, tidak. Nah, seharusnya pelaku ekonomi harus mampu memikirkan bagaimana agar warga miskin ini mengalami dirinya sebagai manusia yang manusiawi. Pelaku ekonomi seharusnya memikirkan bagaimana agar warga miskin ini mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, mampu menikmati sekolah yang layak, hidup layak dan pekerjaan yang layak.

Mari kita kembali pada gagasan Novak. Judul artikelnya menarik: “Economics as Humanism”. Sejauh yang saya tangkap, humanisme yang dimaksud oleh Novak di bidang ekonomi bukan humanisme yang diarahkan ke luar (bukan untuk menyejahterakan orang lain) melainkan bagaimana setiap individu memajukan kesejahteraan hidupnya. Nampaknya, Novak mengkritik efek ambivalensi dari aliran sosialisme dan juga kapitalisme. Ketika sosialisme bangkit, dan menekankan tanggung jawab serta milik umum, justru individu tak punya greget untuk berdikari dan mandiri. Novak ingin mematahkan (meng-counter) ide sosialisme.


Dari artikel ini, sepertinya Novak adalah pengagum kapialisme. Kaum kapitalisme melihat segalanya sebagai “commodity and capital” dan mengizinkan setiap individu menumpuk kekayaan. Artinya, individu berhak menikmati kekayaan di antara kaum miskin yang mati kelaparan. Visi-misi kapitalisme semakin parah sebab tanggung jawab diserahkan dalam wilayah privat dan segalanya harus diswastanisasikan. Peran pemerintah untuk menentukan arah kebijakan ekonomi tidak berlaku lagi.


Menurut saya, kegiatan ekonomi mampu berperan sebagai gerakan humanisme jika aktivitas ekonomi dijadikan salah satu cara untuk melihat kenyataan dan juga untuk memikirkan generasi berikutnya. Aktivitas ekonomi layak sebagai gerakan humanisme jika para pelaku ekonomi tidak hanya memikirkan kesejahteraan dirinya tetapi juga mau mengangkat kehidupan masyarakat miskin yang memang lemah dari segi “human capital”. Sekurang-kurangnya, masyarakat miskin ini dilatih, diberi penyuluhan serta diberi kesempatan untuk sekolah, menikmati pendidikan yang layak.


Postinus Gulő adalah alumnus Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Bahasa dalam Perspektif Ferdinand de Saussure

Pengantar

Paper ini merupakan hasil analisa dan resume ide-ide Ferdinand Saussure tentang bahasa berdasarkan bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988 [1993]). Judul aslinya: Cours de Linguistique Générale, pertama kali terbit pada tahun 1973. Setelah membaca buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa bahasa - bagi Saussure - erat-terkait dengan makna. Makna adalah soal relasi differensial. Artinya, makna (dalam tata bahasa) terkait pada kata sebelum dan sesudahnya. Singkatnya, makna adalah urusan internal kalimat (intra-linguistik). Makna tidak ada di luar kalimat. Konsekuensi berpikir seperti ini adalah, makna extra-linguistik cenderung diabaikan.

Mengenal Saussure berarti kita mesti mengenal beberapa gagasan yang penting dari beliau. Pertama, langage, langue dan parole. Kedua, sintagmatis dan asosiatif. Ketiga, valensi. Keempat, sinkronik dan diakronik. Kelima, tanda, penanda dan petanda. Keenam, arbitrer (kesemenaan) dan mutlak. Ketujuh, sistem aksara. Gagasan-gagasan beliau inilah yang saya uraikan dan jelaskan dalam paper ini. Selamat membaca!


BAB I
RIWAYAT HIDUP DAN KARYA FERDINAND DE SAUSSURE
[1]

Ferdinand de Saussure lahir di Genewa pada tanggal 26 November 1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang ber-emigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann.


Ketika masih mahasiswa, Saussure telah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of Language and Outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles dans les langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doktor (dengan prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris. Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahkan gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa, Saussure didaulat sebagai bapak strukturalis. Menurut beliau, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial).[2]


BAB II
PANDANGAN SAUSSURE MENGENAI LANGAGE, LANGUE DAN PAROLE


2.1 Langage

Langage adalah gabungan antara parole dan langue (gabungan antara peristiwa dengan kaidah bahasa atau tata bahasa, atau struktur bahasa). Menurut Saussure, langage tidak memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena di dalam langage ada faktor-faktor bahasa individu yang berasal dari pribadi penutur. Bahkan langage tidak memiliki prinsip keutuhan yang memungkinkan kita untuk menelitinya secara ilmiah.[3] Langage mencakup apapun yang diungkapkan serta kendala yang mencegahnya dalam mengungkapkan hal-hal yang tak gramatikal. Contohnya, kata materiil. Kata ini memang secara sosial banyak digunakan bahkan seolah-olah dianggap sebagai bahasa konvesional. Padahal, kata “materiil” tidaklah baku, tidak sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan (EYD). Langage memiliki segi individual (parole) dan segi sosial (langue) tetapi kita tidak dapat menelaah yang satu tanpa yang lain. Dengan demikian, langage memiliki multi bentuk dan heteroklit dan psikis. Singkatnya, langage adalah bahasa yang dipergunakan secara biasa dan dianggap baku walaupun sebenarnya tidak baku.


2.2 Langue


Langue adalah bahasa konvensional, bahasa yang sesuai ejaan yang telah disempurnakan, bahasa yang mengikuti tata aturan baku bahasa. Lebih jauh Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue. [4] Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya bila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Nah, tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.[5]


Tujuan linguistik adalah mencari sistem (langue) struktur dari kenyataan yang konkret (parole). Ajaran ini menjadi dasar pendekatan strukturalis. Kata struktur pertama kali diucapkan oleh Jean Piaget: struktur adalah suatu tatanan wujud-wujud yang mencakup keutuhan, transformasi (dinamis) dan pengaturan diri.[6] Dikatakan “keutuhan” karena tatanan wujud itu bukan kumpulan semata melainkan karena tiap-tiap komponen struktur itu tunduk pada kaidah-kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas di luar struktur. Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindra dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi!, dapat juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda militer.[7]

Langue seperti permainan catur, kalau saya kurangi buah catur, akan berubah dan bahkan permainan akan kacau; demikian halnya dalam langue, jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini saya ubah menjadi: makan nasi saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal. Atau dalam bahasa Latin: laudate (terpujilah), tentu jika kita merubahnya tidak sesuai dengan aturan main dalam bahasa Latin, akan kacau balau. Langue tidak tergantung pada aksara.[8] Misalnya, kata: tōten, fuolen dan stōzen; kata-kata ini di kemudian hari berubah menjadi tölen, füolen dan stōzen. Perubahan itu dari mana, kok bisa. Nah, langue tidak mau tahu dengan perubahan itu, yang penting apa yang telah dipakai secara konvensional, ya itulah langue.

Langue sangat perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu tetapi orang banyak juga mengetahuinya.

Langue, bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa. Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi tetapi terbuka bagi perkembangan.

Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).[9] Di bawah ini, kita akan melihat mekanisme langue menurut Saussure.

Pertama, Solidaritas sintagmatis. Secara keseluruhan, perbedaan bunyi dan konsep yang membentuk langue merupakan hasil dari dua macam perbandingan: asosiatif dan sintagmatis. Pengelompokkan secara asosiatif dan sintagmatis pada umumnya disusun oleh langue. Himpunan-himpunan itulah yang membentuk dan mengarahkan berfungsinya langue. Dalam solidaritas sintagmatis hampir semua satuan bahasa (kata) tergantung dari apa yang melingkunginya dituturan atau dari bagian-bagian ber-urutan yang membentuknya. Contoh: satuan seperti désireux (yang menginginkan) terdiri dari satuan bawahan, yakni désir-eux, namun keduanya bukanlah dua bagian bebas yang ditambahkan satu pada yang lain (bukan desir + eux). Satuan itu merupakan suatu hasil, suatu kombinasi dari dua unsur yang solider, yang hanya bervalensi karena keberhubungannya di dalam suatu satuan yang lebih luas. Kata “-eux” itu adalah sufiks, dan jika sufiks terpisah dari kata dasarnya, tidak ada artinya. Misalnya: satuan, tidak mungkin ditulis: satu-an. Sama halnya kata dasar, tidak otonom juga. Ia hanya ada dalam kombinasi dengan sufiks (misalnya: roul-is ‘ayunan’; roul tidak bisa diartikan sebagai ayunan tanpa diikuti akhiran –is).

Kedua, dua bentuk pengelompokkan yang berfungsi secara simultan (bersama). Saussure berpendapat bahwa dalam langue, antara asosiatif dan sintagmatif juga terjadi simultan (hadir secara bersama-sama dalam langue). Misalnya, komposisi dé-faire ‘membongkar’, kata ini mengandung dimensi sintagma sekaligus asosiasitif, karena dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi pada kata yang lain. Marilah kita lihat bagan berikut:

D é – f a i r e

Décoller
Déplacer
Découdre
dsb.

Faire
Relafaire
Contrefaire
dsb.

Selain contoh di atas, kita juga dapat melihat contoh dalam bentuk kalimat: que vous dit-il? ‘apa yang dikatakannya pada Anda?’ bisa diganti dengan kalimat: que te dit-il? ‘apa yang dikatakannya padamu?’ bahkan dapat diganti dengan kalimat: que nous dit-il? ‘apa yang dikatakannya pada kita?’ dsb. Jadi kata “Anda” (vous) dapat kita ganti dengan –mu, kita.

Ketiga, kesemenaan mutlak dan kesemenaan relatif. Yang mutlak semena artinya tanpa motif dari apa yang relatif semena. Walaupun demikian, hanya sebagian dari tanda yang sifatnya semena, sedangkan di bagian lain muncul gejala yang memungkinkan untuk mengenali tingkat kesemenaan tanpa harus menghapusnya: ‘tanda’ mungkin bersifat relatif semena. Misalnya: vingt ‘dua puluh’ tidak bermotif, namun dix-neuf ‘sembilan belas’ tidak sama tingkat kesemenaannya dengan vingt karena kata itu dibentuk dari unsur-unsur lain yang dapat digabung dengan unsur lain pula, misalnya: dix-neuf ‘sembilan belas’, vingt-neuf ‘dua puluh sembilan’, dix-huit ‘delapan belas’, soinxante-dix ‘tujuh puluh’, dsb. Jika dipisahkan dix ‘sepuluh’ dan neuf ‘sembilan’ berkedudukan sama dengan vingt ‘dua puluh’, namun kata dix-neuf merupakan kasus motif relatif.


2.3 Parole

Parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang temasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Bahasa parole misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?, dst. Jadi, parole adalah dialek atau logat. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu (dan suku tertentu) yang sadar [10], termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut:

Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya: perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).

Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parole-lah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole.[11] Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi.

Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun dilafalkan secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh orang banyak.


BAB III
VALENSI, PENGERTIAN, ISI, IDENTITAS DAN REALITAS LANGUE

Melalui hubungan asosiatif dan hubungan sintagmatis, tanda bahasa dapat diuraikan dan hasilnya ialah pemerian tentang valensi. Valensi dapat kita pahami dengan menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting bukan sebagai peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari unsur-unsur luar bahasa. Tanda kita kenal dengan mendengar tetapi ucapan orang jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan adalah gagasan atau situasi yang menarik perhatian kita melalui ujaran si pembicara. Ciri utama bahasa tak dapat dicari pada bicara tetapi dalam hubungan dengan unsur-unsur luar bahasa melalui sejenis konvensi sosial. Sifat valensi (nilai) menyangkut substitusi (penggantian) suatu benda yang berlainan. Contohnya uang. [12] Uang dapat digantikan dengan barang yang nilainya sama. Misalnya, ada roti yang harganya Rp 200, lantas saya beli dengan mengeluarkan uang Rp 200. Nah, uang yang Rp 200 dengan roti tersebut sama nilainya, asal kita juga menganggapnya demikian.

Valensi linguistik harus didekati dari sudut konseptual dan material dalam arti pikiran tanpa ungkapan dalam kata-kata hanyalah benda yang tak jelas atau tidak punya bentuk. Contoh, dalam pikiran saya mau membeli roti, tetapi saya juga harus “mengartikulasikannya atau mengatakannya kepada penjual, kalau tidak, siapa yang tahu bahwa saya mau membeli roti?”. Contoh lain lagi: kuda dalam permainan catur hilang, tetapi bisa diganti dengan yang lain asal diberi nilai (valensi) yang sama dengan kuda.[13] Langue adalah suatu sistem valensi murni: harus ada gagasan dan bunyi. [14] Setiap unsur bahasa merupakan anggota kecil, sebuah articulus (artikulasi) di mana suatu gagasan terpateri dalam suatu bunyi atau suatu bunyi menjadi tanda suatu gagasan. Langue tidak terlepas dari pikiran dan bunyi. Ia seperti kertas, kita potong sebelah pasti ikut terpotong juga sebelahnya.
Valensi selalu terdiri dari: pertama, suatu hal yang berbeda yang selalu dapat dipertukarkan dengan hal yang valensinya harus ditetapkan. Kedua, oleh hal-hal yang serupa dapat dibandingkan dengan hal yang dicari valensinya. Demikian “kata” dapat dipertukarkan dengan suatu yang berbeda yaitu gagasan, juga dapat dibandingkan dengan kata lain.[15] Yang penting dalam valensi adalah bunyi, karena perbedaan bunyi itulah yang mengandung makna. Dalam valensi harus ada sifat korelatifnya yaitu sifat semena dan sifat diferensial. Misalnya, valensi huruf “t” dapat ditulis secara berbeda setiap kali kita menulisnya, tetapi nilainya tetap “t”; inilah valensi aksara.[16] Sistem bahasa adalah sederet perbedaan bunyi yang dikombinasi dengan sederet perbedaan gagasan. Dalam langage ada tuturan dan ada konsep (ada peristiwa dan ada tata bahasa bahasa). Misalnya, pembentukkan kata jamak Jerman jenis Nacht: Nächte. Setiap unsur yang hadir di dalam peristiwa tata bahasa (tunggal tanpa umlaut dan tanpa “e” final, diposisikan dengan jamak dengan umlaut dan e-) dibentuk oleh sederet oposisi di dalam lingkungan sistem. [17]

Pengertian (Perancis: signification) didefenisikan sebagai asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep. Jadi, pada dasarnya signification sama dengan makna referensial dalam semantik. Sedangkan “isi” (Perancis: contenu) dari sistem bahasa (langue) mencakup pengertian dan valensi.[18]
Apa yang dimaksud dengan identitas sinkronis? Yang dimaksud dengan identitas sinkronis terdapat dalam kalimat Perancis: “Je ne sais pas”, ‘saya tidak tahu’ dan “ne dites pas cela”, ‘jangan katakan hal itu. Kedua kalimat ini mengandung unsur yang sama (pas) dikenakan makna yang sama. Identitas bahasa adalah unik, karena – misalnya - setiap saya menyebut kata yang sama, saya memperbaharui materinya sehingga terjadi tindak pembunyian yang baru serta tindak psikologis yang baru. [19] sedangkan yang dimaksud dengan realitas sinkronis langue adalah seperti kata sifat (adjektif) dan kata kerja (substantif).


BAB IV
SINKRONIK DAN DIAKRONIK

Linguistik sinkronis adalah semua yang berhubungan dengan segi statis dalam ilmu. Sedangkan linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis). Misalnya, kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.

Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Tetapi di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal.[20] Ini adalah dimensi diakronis langue. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. [21] Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapapun.

Sinkronis dapat kita pahami seperti ini: dalam bahasa Perancis, tekanan selalu terletak di suku kata terakhir, kecuali kalau suku kata terakhir mengandung e pepet (seperti “ə”). Ini adalah fakta sinkronis, yakni suatu hubungan antara himpunan kata bahasa Perancis dan tekanan. Tetapi fakta ini juga berasal dari keadaan masa lalu (diakronis). Langue adalah suatu mekanisme yang terus berfungsi meskipun mengalami perusakan. Langue adalah suatu sistem yang bagian-bagiannya dapat dan harus diamati di dalam kesaling-tergantungan sinkronis. Di dalam langue, setiap unsur memiliki nilainya dalam oposisi dengan unsur lain. Perubahan hände menjadi hanti bersifat spontan atau kebetulan atau tanpa motif, tanpa maksud.

Ada kasus khusus dalam linguistik sinkronis dan diakronis. Contohnya: poutre (kuda betina) di kemudian hari pengertiannya berubah menjadi “tiang penunjang” (jadi maknanya berubah). Kata tersebut tetap tetapi pengertian masyarakat akan kata itu yang berubah.[22] Jadi fakta historis atau diakronis mengikuti fakta sinkronis. Menurut Saussure, kata oposisi bukan kata biner, bukan juga dualisme. Oleh karena itulah, sinkronis menganggap gast beroposisi dengan gäste, gebe beroposisi dengan gib, dst. Sedangkan diakronis menganggap gast berubah menjadi gaste. Diakronis hanya hadir dalam parole. Karena segala perubahan pertama kali dilontarkan individu sebelum masuk dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman memiliki: ich war, wir waren, sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI menasrifkannya: ich was, wir waren dan dalam bahasa Inggris: I was, we were. Nah, bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was? Saussure mengatakan, pasti ada beberapa orang yang terpengaruh oleh waren kemudian menciptakan war dengan jalan analogi; ini adalah fakta dalam parole. Tetapi karena kata tersebut sering diulang dan diterima oleh masyarakat, maka kata tersebut menjadi fakta dalam langue.

Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi langue yang ia lihat melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. [23] Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama. [24]



BAB V
TANDA, PENANDA DAN PETANDA

Strukturalisme Perancis tidak bisa dipisahkan dari semiologi Saussure. Bagi beliau, semiologi adalah ilmu pengetahuan umum tentang tanda. Dan, tanda tidak hanya sekedar kata, tetapi tanda mencakup kata dan konsep. Dengan kata lain, tanda adalah kombinasi antara konsep dan gambaran akustik. Misalnya, arbor (artinya pohon) adalah tanda bahasa. Sedangkan “pohon” adalah konsep.

Linguistik yang ilmiah adalah linguistik yang harus sesuai dengan ujaran-ujaran dan pola-pola yang dipaksakan (diterapkan secara konvensional) oleh masyarakat bahasa. Langue adalah objek linguistik yang konkret dan integral; ia merupakan khasanah tanda karena ia didasarkan pada konvensi sosial. Dengan cara pandang semacam ini, sebenarnya pandangan Saussure sejalan dengan Whitney: tanda bahasa adalah wujud psikis karena ia tidak mempertimbangkan wujud dari parole.

Dalam tanda bahasa harus dibedakan: Pertama, citra akustis (image acoustique) yang notabene bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan dalam ujaran yang diucapkan. Salah satu manfaat konsep citra akustis adalah bahwa komponennya jelas batasnya. Citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak (contohnya: bunyi gemuruh, bagaimana menuliskannya dengan kata-kata?). Citra bunyi adalah keseluruhan unsur fonem yang jumlahnya terbatas dan dapat diwujudkan dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan. Kedua, bagian lain dari tanda bahasa adalah konsep. Konsep lebih abstrak daripada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata, dan secara langsung bergantung pada citra bunyi. Itulah sebabnya Saussure mengatakan bahwa tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: konsep itu signifie (yang ditandai atau petanda) dan citra akustis itu signifiant (yang menandai atau penanda).[25] Tanda adalah konkret dalam arti tidak ada satupun yang ditinggalkan dari defenisi yang diperlukan oleh sudut pandangnya karena sudut pandangnya itulah yang menciptakan objek: sudut pandang menentukan apa yang dianggap konkret (menyeluruh) sebagai lawan dari abstrak (sebagian).[26] Saussure berpendapat bahwa tanda adalah berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif, derivatif). Ada dua jenis tanda: tanda tunggal dan tanda sintagma.

Semua tanda tersebut memiliki sifat utama, yakni:

Pertama, prinsip arbitrer (kesemenaan). Kesemenaan tanda bahasa dalam arti tidak ada motivasi aspek bunyi dalam benda yang ditandainya dan hanya terdapat dalam tanda tunggal. Sedangkan dalam sintagma, seperti kata majemuk, frasa terdapat motivasi relatif, misalnya bentuk inflektif (perubahan nada suara) diwujudkan secara sama untuk memenuhi hubungan makna yang sama atau konstruksi sintaksis yang dipergunakan dalam situasi yang sama diwujudkan secara sama pula. Kesemenaan merupakan bentuk umum dari kemampuan biologis manusia untuk mengkoordinasikan dan mengasosiasikan (pada waktu yang sama) sehingga melahirkan sistem bahasa yang berbeda bagi setiap masyarakat. Dengan kata lain, kesemenaan adalah tempat manusia membuat sejarah pada dirinya. Tetapi harus diperhatikan bahwa ciri lambang tidak selalu semena, tidak hampa. Sebab, ada suatu dasar dari ikatan alami antara penanda dan petanda. Misalnya, lambang keadilan adalah timbangan, tidak mungkin diganti dengan sembarang lambang, misalnya dengan lambang kereta. Walaupun demikian, semena bukan berarti penanda tergantung dari pilihan bebas penutur melainkan semena adalah tanpa motif. [27]

Untuk mengerti bagaimana suatu kata disebut semena, marilah kita ikuti uarian ini: tiba-tiba saya berteriak kepada ayah saya yang kebetulan lewat di depan saya “ayah, tunggu aku!”. Kata ayah di situ bersifat semena atau tanpa motif karena untuk menyebut kata “ayah” tentu saya tidak perlu berpikir terlebih dahulu dan tidak perlu saya mencari-cari kata apa yang harus saya serukan untuk memanggil laki-laki yang lewat di depan saya; dan tidak mungkin saya berkata: ya sudah, saya panggil saja ayah saya sebagai “ibu”, tidak mungkin.[28] Walaupun demikian, jika dalam bentuk kalimat, langue tidak seluruhnya semena karena langue adalah suatu sistem; dan sistem memiliki nalar tertentu. Misalnya: Saya makan nasi (S+P+K), tidak mungkin saya balik: makan nasi saya. Tetapi justru karena alasan inilah masyarakat tak mampu mengubah langue sesuka hatinya.

Kedua, prinsip kelinearan tanda bahasa. Hal ini paling nampak dalam signifiant, yaitu dalam rangkain wicara. Dan, hal ini yang membedakan bahasa dengan tanda lain (entah parole dan juga langage). Penanda akustis hanya ada dalam garis waktu; unsur-unsurnya terungkap satu persatu. Semua itu membentuk suatu rangkain.[29]

Ketiga, prinsip tak tertukarkan (ketakterubahan). Saussure memberi 4 alasan mengapa tanda tak tertukarkan: 1) karena tanda bersifat arbitrer; 2) walaupun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan yang sifatnya arbitrer karena unsur-unsurnya terbatas, namun karena tanda bahasa tak terbatas jumlahnya, maka ketakterbatasan tersebut menghalangi perubahan bahasa; 3) bahasa merupakan sistem yang sangat rumit; 4) bahasa adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan semua orang. Oleh sebab itu, di antara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi perubahan kebiasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa diwarisi. Dan penerima warisan itu menerima begitu saja (pasif) dan bahkan menjadi bahasa konvensional. Penanda seolah dipisah secara bebas tetapi jika dipandang dari masyarakat bahasa yang memakainya, penanda bahasa tak bebas, ia dipaksakan. Penanda yang dipilih oleh langue tidak mungkin diganti dengan yang lain. Contoh: pilihlah!, tidak mungkin saya ganti tanda bahasa di dalam kata itu menjadi “pilihlah?”. Jadi, masyarakat tidak dapat memaksakan kemauannya pada satu kata, masyarakat terikat pada langue seperti apa adanya. Singkatnya, langue tidak dapat diikat dengan suatu kontrak dan justru karena itulah tanda bahasa begitu menarik untuk diteliti. Sebab, kalau kita ingin memperlihatkan bahwa hukum yang diterima dalam suatu masyarakat sebagai sesuatu yang kita turuti dan bukan aturan yang ditetapkan secara bebas oleh individu, langue-lah yang paling cocok sebagai analoginya. Lambang bahasa atau langue tidak tunduk pada kemauan kita; ia adalah warisan dari abad sebelumnya. Misalnya, pemerian nama pada benda atau hal, merupakan warisan dari zaman dahulu. Jadi, langue juga merupakan hasil dari faktor historis, dan itu sebabnya langue tak terubahkan.

Keempat, prinsip tertukarkan (keterubahan): sifat ini terjadi jika kita menggunakan sudut pandang historis yang menimbulkan pergeseran hubungan antara signifiant dan signifié sebagai akibat perubahan bunyi dalam pergeseran analogi. [30] Tanda selalu berganti karena tanda bersifat sinambung. Pergantian tanda selalu mengakibatkan perubahan hubungan antara petanda dan penanda. Misalnya, kata “nēcare” (Latin) dikemudian hari berubah menjadi “necare”. Atau contoh lain adalah kata “dritteil” (kata Jerman klasik) berubah menjadi “drittel” (kata Jerman modern). Jadi, penanda berubah, baik secara material maupun secara gramatikal. Namun, sebuah langue sama sekali tidak berkekuatan untuk mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu mengubah hubungan antara penanda dan petanda; hal ini adalah salah satu konsekuensi dari kesemenaan lambang. [31] Prinsip dasar bahasa adalah tata nama. Artinya, sebuah kata mewakili “hal” atau “benda”. Prinsip ini mengandaikan adanya “benda” sebelum ada kata. Tetapi kata tak jelas apakah berwujud bunyi atau psikis.

BAB VI
HUBUNGAN ASOSIATIF DAN HUBUNGAN SINTAGMATIS


6.1 Hubungan Asosiatif
Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain. Dan, karena satuan itu berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna, inilah yang disebut hubungan asosiatif atau paradigmatis. Hubungan asosiatif juga disebut in absentia, karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran. Asosiataif bersifat psikis: bisa berbicara dengan diri sendiri tanpa mengamati bibir dan geraknya ketika seseorang berbicara. Contoh hubungan asosiatif dalam kehidupan sehari-hari adalah terdapat dalam kata burung. Kata “burung” ini bisa diasosiasikan sebagai alat kelamin laki-laki. Jadi, asosiasi mengandung makna konotasi.

Asosiasi berarti juga ada unsur yang sama dalam pembentukkannya, misalnya: ships dapat diasosiasikan dengan birds, flags, dst. Dix-neuf (sembilan belas) secara asosiasi solider dengan dix-huit (delapan belas) dan soixante (tujuh puluh), dan sebagainya, dan secara sintagmatis, solider dengan unsur-unsurnya yaitu dix (sepuluh) dan neuf (sembilan). Hubungan ganda itulah yang memberinya sebagian dari valensinya; dan solidaritas inilah yang membatasi kesemenaan.

Sedangkan hubungan-hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan sintagmatis disebut juga hubungan in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama wicara. Dalam wacana, kata-kata bersatu demi kesinambungan, hubungan yang didasari oleh sifat langue yang linear, yang meniadakan kemungkinan untuk melafalkan dua unsur sekaligus. Unsur-unsur itu mengatur diri yang satu sesudah yang lain di rangkaian parole. Kombinasi tersebut yang ditunjang oleh keluasan, dapat disebut: sintagma. Jadi, sintagma selalu dibentuk oleh dua atau sejumlah satuan kata ber-urut-an, misalnya: relire (membaca kembali), contre tous (menentang semuanya), la vie humaine (kehidupan manusia): Dieu est bon (Tuhan Maha Pengasih), s’il fait beau temps, nous sortirons (jika cuaca cerah, kami akan keluar), dst. [32] Begitu terletak di dalam suatu sintagma, suatu istilah akan kehilangan valensinya karena istilah itu dipertentangkan dengan istilah yang mendahului dan mengikuti atau dengan keduanya.

Kata-kata yang mempunyai kesamaan ber-asosiasi di dalam ingatan. Oleh karenanya, membentuk kelompok tempat berbagai hubungan berkuasa. Marilah kita ambil contoh: ketika saya melihat kata “enseignement” (penjajah), secara tidak sadar akan muncul di dalam pikiran saya sekelompok kata lain (misalnya: enseigner ‘mengajar’, renseigner ‘menerangkan’, dst. [33] Apa yang Anda pikirkan jika saya mengucapkan kata “belajar”? pasti Anda berpikir tentang pengajar, murid, ada guru, ada ruangan, dst, itu adalah contoh mekanisme asosiasi. Jadi, hubungan asoasi adalah in absentia karena ketika membaca satu kata, dalam pikiran kita bisa muncul sederet kata lain, walaupun tak ada dalam buku bacaan yang kita baca. [34]

Sedangkan hubungan sintagmatis, menurut Saussure, bersifat in praesentia. Sintagmatis dapat berupa: kata majemuk, kata turunan (misalnya sagen menjadi sagt) dan kalimat. Contoh: contramaitre (mandor). Kata ini adalah kata majemuk: contre ‘kontra’ dan maitre ‘guru’. Kalimat (sintagma) adalah bagian dari parole bukan langue karena ada proses tutur sehingga terjadi perubahan kata. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa semua sintagma adalah parole, karena ada ungkapan (dalam bentuk kalimat) yang menjadi langue; karena ungkapan itu merupakan ungkapan baku yang tidak dapat diubah oleh adat bahasa (misalnya: allons donc! ‘ayo’, a quo bon? ‘untuk apa?’, prendre la mouche ‘naik pitam’, a force de ‘berkat’, rompre une lance ‘memperjuangkan’, dst. Ungkapan baku yang telah dikenal umum oleh masyarakat Indonesia, misalnya, “dalamnya laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu” tidak mungkin saya menggantikannya menjadi “dalam hati dapat diduga, dalam laut siapa tahu.

BAB VI
SISTEM AKSARA

6.1 Sistem Aksara

Menurut Saussure, ada dua Sistem Aksara, yakni: Pertama, sistem ideografi: kata diungkapkan oleh sebuah lambang tunggal dan tak ada hubungannya dengan bunyi-bunyi yang membentuknya, contoh aksara China.

Kedua, sistem fonetis: mereproduksi urutan bunyi yang berurutan dalam kata (kadang-kadang silabis dan alfabetis) artinya didasari unsur-unsur parole yang tidak teruraikan.

Langue berkembang terus dan aksara cenderung tetap. Akibatnya tidak sesuai lagi dengan apa ayang dilambangkannya, yang logis pada saat tertentu, menjadi tidak logis pada abad kemudian. Suatu saat orang mengubah lambang grafis untuk menyesuaikannya dengan perubahan ucapan.[35] Misalnya, pada abad XI di Perancis terdapat perbedaan antara cara baca (cara mengungkapkan) dengan cara menulis, seperti bagan berikut:


Abad
Orang mengucapkan
Orang menulis
XI
Rei, lei
Rei, lei
XIII
Roi, loi
Roi, loi
XIV
Roe, loe
Roi, loi
XIX
Rwa, lwa
Roi, loi

Selain contoh di atas, ada juga ketidaksesuaian antara cara baca (lafal) dengan cara tulis (grafik), misalnya, diucapkan ẻveyẻr tetapi kata itu ternyata ditulis “eveiller”. Selain itu juga ada persoalan dalam pelafan misalnya, dalam bahasa Jerman ada huruf yang hanya didasarkan pada sifat mereka-reka.[36]


6.2 Fonologi

Menurut Saussure, fonetik adalah studi evolusi bunyi, ilmu historis, menganalisis peristiwa, perubahan bergerak bersama waktu.[37] Walaupun demikian, kata Saussure, fonologi berada di luar waktu karena mekanisme pelafalan selalu serupa. Tetapi sebenarnya fonologi hanya suatu disiplin bantu dan bergerak di tataran parole. Padahal, yang mau ditelusuri oleh Saussure lebih pada langue. Sebab, langue merupakan sistem yang didasari oposisi psikis dari bunyi-bunyi seperti permadani merupakan karya seni yang dihasilkan oleh oposisi visual di antara benang dengan berbagai warna. Tetapi yang terpenting adalah percaturan oposisi dan bukan cara menghasilkan warna-warna.


6.2.1 Aksara fonologis

Prinsip aksara fonologis aksara harus dapat dilambangkan dengan suatu tanda, setiap unsur di dalam rangkaian tuturan. Aksara fonologis harus tetap hanya digunakan oleh para ahli linguitik. Aksara berkaitan dengan bentuk tulisan sedangkan fonologi berkaitan dengan ucapan atau fonetik atau cara baca.

6.2.2 Fonem

Pembatasan bunyi-bunyi pertuturan hanya dapat dilakukan atas dasar kesan akustis tetapi deskripsi hanya mungkin dibuat berdasarkan tindak artikulasi karena satuan-satuan akustis tertangkap dalam bentuk rangkaian tak teranalisis. Dalam bunyi ada keseragaman yang sama dalam tugas laring dan rongga hidung; sedangkan keaneka-ragaman yang sama terjadi di dalam tugas rongga mulut. Tetapi yang menghasilkan variasi fonologis yang membuat kita dapat membedakan bunyi bahasa adalah bunyi laring seragam. Menurut Saussure, hidung berperan sebagai resonator bagi getaran berbunyi yang melaluinya; sehingga dengan demikian, hidung juga menrupakan penghasil bunyi. Rongga mulut berperan sebagai genesator dan resonator.[38]

Penutup

Hari-hari ini bahasa dipandang begitu penting oleh kaum strukturalis dan filsuf lainnya. Mengapa? Karena bahasa adalah alat aktualisasi dan artikulasi diri. Kita mampu memaknai pengalaman kita lewat bahasa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi-interaktif dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa ada banyak sisi negatif dari bahasa. Dewasa ini, bahasa bukan hanya difungsikan sebagai media komunikasi tetapi bahasa juga menjadi medan persembunyian diri. Bahasa menjadi ranah memperjuangkan ideologi-ideologi tersembunyi yang sering menindas dan mendatangkan neraka bagi yang lain.


Postinus Gulö adalah lulusan Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung


Footnotes


[1] Lihat Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 2-3 dan 374-378

[2] Ibid., hlm. 24

[3] Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, Ibid., hlm. 6. Lihat juga Christopher John Murray (Editor), Encyclopedia of Modern French Thought (New York: Taylor & Francis Group), hlm. 574-575. For Saussure, langue was the linguistic code, the set of conventions one learns when acquiring a language. It is independent of any individual’s conscious attempt to modify the linguistic system. Saussure considered langue to be true object of linguistics. Parole refers to the collectivity of all linguistic utterances made by speakers of a certain language. That is, parole is the dynamic expression of langue. whereas langue is social, parole is individual, and two together comprise what Saussure calls langage.

[4] hlm. 155

[5] hlm. 9

[6] Maksud dari “pengaturan diri” adalah bahwa struktur tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk
melaksanakan prosedur tranformasional, jadi struktur itu bersifat tertutup.

[7] hlm. 82-84

[8] hlm. 93

[9] hlm. 193

[10] hlm. 6

[11] hlm. 86

[12] hlm. 17-18

[13] hlm. 203

[14] hlm. 204

[15] hlm. 209-210

[16] Bandingkan hlm. 212-215

[17] hlm. 217

[18] hlm. 20

[19] hlm. 200

[20] hlm. 167

[21] hlm. 169

[22] hlm. 178

[23] hlm. 175

[24] hlm. 187

[25] hlm. 13. Petanda merupakan kelas makna sedangkan penanda merupakan kelas pembunyian

[26] hlm. 13

[27] hlm. 149

[28] hlm. 154-155

[29] hlm. 80 dan 150

[30] hlm. 15-16

[31] hlm. 157

[32] hlm. 219

[33] hlm. 79-80 dan 221

[34] hlm. 220

[35] hlm. 96

[36] Lihat hlm. 100-101

[37] hlm. 103

[38] hlm. 115-116

Jumat, 04 Juli 2008

The Open Society Theory in the Plural Society Context

By Postinus Gulö

My topic is taken from Karl Raimund Popper’s thesis and Henri Bergson’s opinion. Karl Raimund Popper is a politic philosopher who was born in Austria, while Henri Bergson is a philosopher who was born in French. Popper is a student from Bergson. In Bergson’s opinion, the open society is the society which is deemed in principle to embrace all humanity. A dream dreamt, now and again, by chosen souls, it embodies on every occasion something of itself in creation, each of which, through a more or less far-reaching transformation of man, conquers difficulties hitherto unconquerable. While according to Popper, the open society is the society in which individuals are confronted with personal decisions or individual freedom, and belief for critical attitude, critical thinking, creative thinking, hypothesis thinking and denies: the dogmatic thinking, magical thinking, tribalism attitude, fanaticism, violence and inevitable laws. The most important characteristics of the open society, competition for status among its members.

In my opinion, the open society theory is very important and its relevance in the plural society context like Indonesian society. Why? Because the principles of the open society theory are:
The first, tolerance: every man must respect to pluralistic society and all people are brothers. Since Indonesian society context is pluralistic, so, the people of Indonesia must respect the articulation or practice the characteristic of open society: being tolerant. Indonesian people must respect each others: Muslim must be tolerant with Christian; and Christian must be tolerant with Muslim or majority must be tolerant with minority (like Ahmadiyah, and Crhistian) and minority must be tolerant with majority.
Second, dialog and the freedom to express criticisms (evaluation) to all people. The criticisms and dialog and evaluation will build social trust because we understand what ideology (and idea or opinion) of other people.

Third, free critical thought or creative thinking. Fourth, brotherhood, or, philanthropy: an appeal to men to respect one another and themselves. Fifth, democracy. In Popper’s opinion, democracy is the rule of the general will, or the rule of the spirit of the people. Only democracy provides an institutional framework that permits reformation without violence, and so the use of reason in political matters. Sixth, humanity. Everyone who are respectful to the others people, respect life or pro life and deny violence is a humanist.

In the Indonesian context - according to Roy Voragen - FPI (The Front for the Defense of Islam) is a good example of an intolerant (anti-humanity) organization. FPI is an uncivilized civil society organization. Why? Because FPI used violence (sword) but not dialogue (word) and FPI tends intolerant. FPI would like to make “heaven” on earth but they invariably produce “hell”. Therefore, FPI is an enemy of Open Society. Seventh, hypothesis thinking. Hypothesis thinking can explain like this: I may be wrong and you may be right, and by an effort, we may get nearer to the truth.

Conclusion, the principles Indonesian people must have who live in plural society context are: tolerant, brotherhood, philanthropy, and respect for all people and humanity: no violence, and pro life.


Bibliography

1. Bergson, Henri, The Two Sources of Morality and Religion, Paris: Henry Holt and Company, Inc., 1935.

2. Popper, Karl R., The Open Society and Its Enemies, Volume I, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1966.

3. Voragen, Roy, Civil Society and Democracy in Post-Soeharto Indonesia, in Melintas, Volume 22, December-March 2007.

Minggu, 08 Juni 2008

Ketika Manusia Dirundung Kebengisan

Peneropong: Postinus Gulö. Kategori: Seni-Teater. Judul Naskah: Krapp’s Last Tape (1958). Penulis Naskah: Samauel Beckett. Pernah dipentaskan secara tunggal oleh Tony Broer, di FF-Unpar (18/11/2006). Tony Broer adalah aktor teater dan dosen STSI, Bandung.

Coba Anda bayangkan jika manusia menjadi tidak manusiawi. Ia pantas dilabel- jika ada seseorang yang latah menamparnya - dengan sebuah sinisme: dasar bengis. Teater monolog yang berjudul: Krapp’s Last Tape (Pita Terakhir), karya Samauel Beckett yang lahir pada tanggal 13 April 1906 di Foxrock, County Dublin, Irlandia adalah sebuah deskripsi kebengisan manusia di zaman perang Dunia II. Kala itu, seolah manusia ibarat mesin yang tak punya hati. Jadi, sebenarnya pesan moral teater ini hampir sejalan dengan sindiran Thomas Hobbes: manusia adalah makhluk anti sosial, bagai mesin tak berakal.

Menurut Beckett, KRAPP’S LAST TAPE is an extraordinary study of mortality, creativity and memory. Beckett hidup di era yang tak jelas, nothing, absurd, karena berjuta-juta manusia yang mati konyol dan yang harus menanggung penderitaan akibat Perang Dunia II.

Krapp’s Last Tape sebuah catatan memorial mengenang zaman yang brutal Perang Dunia II itu. Penguasa di era Perang Dunia II seolah tak peduli pada penderitaan dan kematian orang-orang tak berdosa (innocent). Sebagai seorang yang memiliki daya sensibilitas (compassion), Beckett mampu menangkap roh zaman (zeitgeist) yang dilanda kengerian dan ketakutan. Oleh karenanya, Beckett yang juga dilanda kefrustrasian pernah berkata: “Perhaps my best years are gone. When there was a chance of happiness. But I wouldn’t want them back. Not with the fire in me now. No, I wouldn’t want them back.” Masa lalu beliau sangat suram, sehingga ia tak mau terulang – dalam dirinya - segala kepahitan yang pernah ia alami.

Perang Dunia II begitu brutal. Bengis. Tak manusiawi. Itu sebabnya Beckett anti perang, anti kekerasan. Walau demikian, Beckett sadar bahwa kefrustrasiannya hanya dapat teratasi jika ia bersedia mengenang masa-masa romantis yang pernah ia alami. Dalam adegan-adegan Krapp’s Last Tape ini, Tony Broer memperlihatkan saat-saat kegagalan yang dialami Beckett yang seolah tak pernah terselesaikan. Walaupun demikian, Beckett tetap bertahan untuk hidup karena ia selalu mendengarkan kembali masa lalu romantisnya yang telah ia rekam sendiri. Jadi, jika Anda termasuk orang yang tertekan, memiliki pengalaman buruk, ingatalah saat romantis, saat yang menyenangkan yang pernah Anda alami. Jadikanlah kenangan indah Anda sebagai teman Anda di saat Anda merasa kesepian. Ini bukan sekedar bernostalgia melainkan mencoba melepaskan tembok keterkungkungan kita.

Saat ini kita tidak aman (?). Seolah maut selalu mewajah. Kini, perang bisa terjadi di mana saja dan kapanpun. Pelaku tak kenal siapa sasaran. Yang penting agenda perang tercapai. Pernah, Indonesia panas. Poso bak kota angker bersimbah darah, itu terjadi di masa silam. Papua terus angkat bicara, ingin merdeka. Mereka barangkali tak salah. Pasti ada hal yang menjadi pemicunya. Pemicu itu tak tepat jika didiamkan. Jika dibiarkan api menjalar di sekam, hati-hati, apinya akan membabat habis sekamnya tanpa Anda tahu kapan ia menyambar Anda. Adalah menarik komentar dan apresiasi serta alur pemikiran Tony Broer terhadap naskah yang ditulis pada tahun 1958 ini. Tony Broer mengatakan bahwa naskah ini ditulis oleh Beckett pada dekade keabsurditasan. Zaman yang digeluti Beckett tak jauh berbeda dengan apa yang Indonesia dan dunia alami saat ini. Manusia Indonesia itu absurd, ganjil, aneh. Sampah dibuang ke mana-mana tanpa mempedulikan akibatnya. Akibat sampah tak jauh dari akibat perang: manusia tetap jadi korban. Masih masuk akal jika yang longsor adalah gunung. Tapi di Indonesia lain halnya, justru sampah pun bisa longsor dan menimbun seratusan manusia (seperti yang terjadi di Leuwi Gajah tahun 2005 silam). Lumpur di Sidoarjo adalah akibat kerakusan manusia (bencana yang disengaja) tapi anehnya pemerintah seolah biasa-biasa saja; tak ada tindakan yang tegas untuk menanggapinya.

Lebih jauh Tony Broer melihat keabsurditasan dijenjang internasional. Keegoisan Amerika Serikat di bawah komando Presiden John Walker Bush yang menginvasi Irak telah menimbulkan ratusan ribu orang meninggal. Di Irak, berapa anak tanpa dosa yang kehilangan orangtua hanya gara-gara ulah Bush untuk mencapai tujuannya yang tak jelas. Bush rakus kuasa! Ia ingin menjadi penguasa tunggal dunia! Tentara-tentara Amerika tak peduli pada nyawa orang (?). Main babat saja! Itu sebabnya sebelum menampilkan teater monolog Krapp’s Last Tape, Tony Broer memutar video clip, sepenggal aksi brutal penembak misterius sebagai bayangan betapa kejinya kejatahan perang.

Melihat situasi seperti sekarang ini, barangkali ada benarnya pendapat Thomas Hobbes: manusia ibarat harimau bagi sesamanya, homo homini lupus. Atau teori Darwinisme: survival of the fittest, yang kuat dialah yang menang! Sekarang, dunia menjadi lembah air mata (lacri marrum valle), samudera penderitaan (the ocean of suffering). Jika Thomas Aquinas pernah berkata, hidup bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk menjadi berkat bagi orang lain (“Non sibi vivere, sed et aliis proficere”), di zaman sekarang justru yang terjadi adalah, manusia menjadi neraka bagi sesamanya.

Teater ini sebuah pisau refleksi yang mencoba menguliti hati nurani para penguasa. Agar topeng keegoisan terlepas sehingga menyembul belaskasihan. Teater ini barangkali (adalah) menjadi refleksi bagi para penguasa Indonesia yang tergelincir ke dalam belukar keegoisan dengan membabat habis uang rakyat melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di negeri ini, kekuasaan, jabatan selalu diburu. Para pemburu kekuasaan cerdik melihat bahwa di balik kekuasaan ada setumpuk “kesempatan” yang bisa dimanfaatkan! Oleh karenanya, jangan heran jika demi mencapai kekuasaan, apapun dilakukan dan dipaksakan. Korupsi, kolusi dan nepostisme menjadi cara yang dianggap paling tepat. Maka, di balik perjuangan menggapai takhta kekuasaan semakin jelas tujuannya: bukan untuk menjadi pelindung rakyat melainkan untuk menjawab kerinduan dalam terminologi keegoisan. Keegoisan para penguasa di negeri ini semakin diperjelas oleh banyaknya para penguasa yang telah dijatuhi hukuman karena KKN. Ya, semoga mereka insaf saja!

Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat, Unpar, Bandung

Jumat, 23 Mei 2008

The Lesson: Ekspresi Dehumanisasi dan Keabsurditasan Bahasa

Peneropong: Postinus Gulö. Kategori: Seni-Teater. Judul Naskah: The Lesson. Penulis Naskah: Eugene Iunesco. Pernah dipentaskan oleh Mahasiswa Fakultas Filsafat Unpar di STSI, Bandung (2006)


''Cerdas, seorang mahasiswi doktoral, tak berdaya ketika sang Profesor menghabisi nyawanya. Profesor begitu kejam. Tapi anehnya, sang professor pada akhirnya justru tunduk pada pembantunya sendiri”. Kita mengira bahwa ini adalah cerita. Namun, bagi Iunesco, ini bukan cerita. Iunesco sangat anti cerita, anti teater, anti plot, anti literatur, anti realisme, anti logika. Ini teater absurd Bung! Menurutnya, yang terjadi di panggung adalah peristiwa yang mungkin saja tak pernah terjadi dalam kenyataan hidup. Seni tidak pernah nyata dan tidak dapat dikembalikan pada kenyataan. Yang nyata adalah “kata” pisau yang telah membunuh sang mahasisiwi. Dan dari fenomena itu, kata dan bahasa telah menjadi alat kekuasaan, kekejaman.

Kekejaman manusia di era Perang Dunia II (PD II) telah mengakibatkan banyak manusia yang depresi, frustrasi, barbaris, skeptis dan apatis serta hopeless. Banyak kaum intelektual mengalami dis-ilusi, pesimis, dan tidak percaya lagi pada konsep. Konsep Hegel tentang idealisme mutlak yang berkeyakinan bahwa “ide yang dimengerti dengan realita yang nyata itu sama saja”, tidak dipercayai lagi. Bagi mereka hidup manusia pada era itu sangat absurd, tak bermakna. The Lesson, karya Eugene Iunesco (seorang Romania) merupakan sebuah naskah teater absurd yang menampilkan bahwa manusia telah terpenjara dalam bahasa yang menjadikan manusia begitu otoriter, dehumanisasi. Iunesco tidak mengerti mengapa ia menulis naskah ini, namun sekaligus juga naskahnya ini adalah wujud ketidaksetujuannya pada kekejaman Nazi dan PD II. Ia anti nazi, anti Perang Dunia II.
Melalui naskah The Lesson, Iunesco mau merumuskan situasi ketercabutan manusia dari akar-akar metafisik dan moralitas. Sebagai dramawan dan seniman ia mau menyajikan keabsurditasan bahasa manusia, sekaligus ketakberartian, situasi-situsai tidak logis. Namun, dramatisasi yang dimainkan dalam The Lesson ini sebenarnya merupakan siasat Iunesco merumuskan keabsurditasan dan devaluasi bahasa. Bahasa yang tadinya sebagai sarana komunikasi, sekarang malah ibarat pisau yang berfungsi ganda.
Bagi Iunesco, bahasa telah kehilangan makna komunikasinya, tidak seperti yang dilukiskan dalam film Journey of Life: bahasa yang membedakan manusia dari binatang sehingga manusia tidak pernah terisolasi dari dunianya. Sekarang, yang terjadi sebaliknya dunia semakin kacau karena sudah tidak ada lagi logika keberbahasaan. Tidak heran jika manusia sulit mengkomunikasikan dirinya sekaligus sulit berkomunikasi dengan orang lain. Personifikasi bahasa adalah sang Profesor yang menyalahgunakan pengetahuannya, tak mampu menggunakan logikanya. Bagi Iunesco, seni adalah salah satu upaya untuk mengkomunikasikan pengalaman dis-ilusi itu. Oleh karena itu, dalam panggung teater absurdnya ini, yang terpenting adalah setting, property, karena itu merupakan ekspresi sekaligus deskripsi betapa rumitnya interior manusia.

Dalam naskah The Lesson, Iunesco memainkan kata-kata, menggunakan kata yang sederhana, kata-kata yang sama yang seharusnya berbeda. Iunesco melihat bahwa kata memiliki arti konotasi pribadi, manusia memiliki tafsiran arti pada setiap kata, sehingga bahasa akhirnya menjadi rumit, absurd. Tidak hanya itu, “bahasa” jika ditarik ke dalam tataran ide akan selalu mengandung rencana udang di balik batu. Akhirnya, bahasa adalah ranah memperjuangkan kepentingan diri (self-interest). Maka, tepat sekali kata William James: “Idea is planning of action”, ide adalah rencana tindakan, siasat untuk mewujudkan mimpi-kepentingan. Selain itu - jika ditilik lebih jauh - bahasa sebenarnya ibarat sebuah perangkap, karena nyatanya manusia mampu mempermainkan bahasa, namun tanpa sadar juga manusia justru dipermainkan oleh bahasa (objek kuasai subjek). Maka, tak heran jika akhir-akhir ini pun bahasa justru menjadi alat agitasi, sarana provokasi, alat menghancurkan tatanan persahabatan.
Seringkali, pidato, puisi, ceramah diartikan sebagai sindiran (insinuatif), atau ekspresi menenggelamkan orang. Dan, inilah sikap yang telah terbangun permanen di dalam sendi-sendi cara berpikir manusia zaman kiwari: sikap su’u-dzon, berprasangka buruk. Atmosfir tindakan yang kian terbangun adalah penggusuran dimensi dialogis dan polylogis, yang penting monolog yang notabene sebagai cerminan keegoisan dan kedangkalan berpikir, apalagi jika ia merasa berilmu, merasa terdidik.

Tak ayal lagi, ada yang sinis dan menuduh bahwa manusia modern telah menjadi masyarakat autis, sibuk dengan dirinya sendiri. Karena merasa telah banyak menguasi ilmu. Oleh karenanya, tak heran jika tidak jelas (lagi) batas antara kebenaran dan pembenaran. Yang terjadi, jika Anda mampu merangkai sebuah defenisi dan dapat diterima secara rasional, Anda dibenarkan. Apalagi kalau yang merangkai defenisi itu memiliki otoritas, seperti sang Profesor dalam teater The Lesson itu: segalanya bisa terbelokkan dan dibenarkan. Kata-katanya pun berbisa!


Paradigma Masyarakat Cina (Terinspirasi Film The Hero)


Judul Film : The Hero. Pemain : Wu Ming, Fei Xue, Can-Jian, Liu Shui, etc. Peneropong: Postinus Gulö

Film The Hero menarik, sekurang-kurangnya bagi saya sendiri. Menarik karena filofosis. Sisi kefilosofiannya terlihat dari isinya. Isinya adalah paradigma Cina yang spektakuler dan piawai itu. Selamat menikmati suguhan ulasan ekspansif sederhana film ini, tentu, dari perspektif saya sebagai peneropong.

Kaisar (raja) adalah simbol Our Land (pemersatu)

Wu Ming (nameless) adalah seorang pemuda yang kuat dan tangkas. Ia berasal dari Kerajaan Zhao, tetapi dibesarkan di Kerajaan Qin. Antara Qin dan Zhao saling bermusuhan. Demikian juga Fei Xue, Can-Jian dan Liu Shui berasal dari Zhao. Namun, di antara mereka hanya satu orang yang mengerti paradigma Cina bahwa raja tak boleh dibunuh, walaupun ia sangat kejam. Pemuda itu bernama Can Jian.

Bagi Can Jian, Kaisar adalah pemersatu dan pendamai yang dalam bahasa Can Jian (juga Wu Ming setelah disadarkan Can Jian) disebut simbol “OUR LAND”. Itu sebabnya Can Jian tidak terpengaruh dengan tindakan teman-temannya yang berusaha membunuh sang Our Land. Di akhir cerita, Wu Ming sadar “lebih baik satu orang mati demi orang banyak”. Wu Ming bersedia mati asal sang raja selamat. Raja adalah “kepala” rakyat. Raja adalah daya ikat dan daya pikat yang mempersatukan yang tercerai-berai. Jadi, di sini yang ditekankan adalah menang itu bukan berarti mengeliminasi yang lain. Perang harus berujung pada perdamaian. Tesis Can Jian ini benar. Pada tahun 201 B. C, Kaisar Qin Shi Huang menjadi raja pertama Qin dan berhasil mempersatukan masyarakat Cina. Filsafat Cina tidak mengenal dikotomi. Antara dua sisi yang berbeda “saling” menjadi bagian dari yang lain. Itu sebabnya, hal yang paling mendasar dalam paradigma Cina adalah harmoni dan keseimbangan.

Relasional-Harmoni

Harmoni adalah salah satu tema pokok filsafat Cina. Penonjolan gerak dan diam, sedikit dan banyak, kaligrafi(diam) dan panah (gerak) dalam film The Hero, sebenarnya sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Cina berparadigma: di antara dua kutub harus dicari jalan tengah, keseimbangan, hubungan relasional-harmoni. Relasional-harmoni tersebut dapat kita lihat juga dalam beberapa paradigma Cina yang cukup filosofis.

Pertama, Yin-Yang: adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air, perempuan, simbol kematian, dan dingin. Yang itu bersifat aktif, gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, simbol untuk hidup dan simbol panas. Segala sesuatu dalam kenyataan manusia adalah sintesis harmonis dari derajat Yin dan Yang.

Yin-Yang saling tergantung dan saling melengkapi, selalu berhubungan dan secara terus-menerus saling memberi kekuatan (simbiosis mutualistis). Jadi, antara Yin dan Yang terjadi keseimbangan, dan harmoni. Menurut Tao The Ching, suatu kekuatan, objek atau gagasan tak akan lengkap bahkan tak berarti tanpa ditunjang keadaan sebaliknya. Kesulitan dan kemudahan saling melengkapi. Panjang dan pendek saling membanding. Tinggi dan rendah saling membedakan. Kebaikan tak punya arti tanpa kejahatan, kecantikan tak akan dipandang tanpa kehadiran si buruk sebagai pembanding.

Kedua, Feng Shui: yang ditekankan adalah harmoni antara manusia dengan alamnya. Atmosfir rumah, misalnya bisa berpengaruh pada manusia yang menghuni rumah tersebut. Ketiga, Penghormatan Leluhur dan Dewa-Dewi. Di balik ritual penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewi, sebenarnya ada yang perlu dicapai orang Cina yakni demi membina relasi terhadap leluhur dan dewa/i. Roh nenek moyang (makhluk halus) bagi orang Cina dipahami secara fisikal. Ia juga bisa memberi rezeki, dan kemakmuran kepada anak cucu-cicitnya. Oleh karena itu, relasi itu penting agar hubungan kekeluargaan (dengan nenek moyang) tidak pernah putus. Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.

Pluralisme

Orang Cina sangat menghargai pluralisme (keperbedaan). Penerimaan mereka terhadap pluralisme dapat kita lihat dalam paham mereka tentang beberapa ide universal, antara lain: Pertama, Toleransi. Bangsa Cina pada dasarnya menghargai pendapat orang lain, sehingga Cina memandang pluralitas sebagai hal yang mesti diterima dan wajar. Kedua, Perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris (humanis) daripada filsafat Barat. Prinsip humanis merupakan inti ajaran Konfusius.

Gerak dan Diam (hening)

Dalam film The Hero, kedua term ini begitu tampak. Pemimpin Zhao melalui kaligrafinya percaya bahwa mereka tidak apa-apa dengan serangan panah dari Qin. Zhao percaya bahwa panah (bergerak) bisa dilawan dengan hanya duduk diam sambil melukis kaligrafi. Jadi, yang bergerak dilawan dengan yang diam. Kita mungkin masih teringat kata-kata Rinzai, seorang Master Zen (sekitar abad ke-9 masehi): "Jika kamu ingin menghayati Zen dengan bergerak, hal itu berarti memasuki keheningan. Jika kamu ingin menghayati Zen di dalam keheningan, hal itu berarti memasuki gerak”. Diam, dalam filsafat Cina di sebut Chanisme, mengajarkan tentang: perwujudan ketunggalan sejati individu dengan budi semesta (kekosongan). Budi semesta dipahami sebagai wu nian (tiada pikiran), wang jing (melupakan perasaan), dan ren xin (membiarkan budi menempuh jalan sendiri)- lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm., 138.


Konstruksi Berpikir Pola Tiga

Paradigma Pola Tiga tidak hanya Cina yang memilikinya. Sunda juga sama. Walaupun dengan istilah yang berbeda : tritangtu. Pola tiga masyarakat Cina tercermin dalam paradigma berpikir dan bertindak mereka tentang filosofi pedang, marga dan harta kehidupan.

Marilah kita mengulas paham masayarakat Cina tentang pedang. Dalam film The Hero, ada 3 tahapan untuk memahami apa itu pedang. Pertama, pedang adalah manusia dan manusia adalah pedang. Singkatnya ada kombinasi antara manusia dan pedang. Bahkan rumput yang ada di tangan manusia pun bisa menjadi pedang. Kedua, pedang ada di dalam hati. Inilah yang disebut dengan tenaga dalam: melawan yang bergerak dengan sikap diam. Ketiga, tidak (perlu) ada pedang. Tahap terakhir ini merupakan tahapan tingkat tinggi. Karena di sini dipahami bahwa pedang bukan lagi untuk membunuh melainkan untuk kedamaian dan memperjuangkan hidup manusia.

Lantas bagimana paham masyarakat Cina tentang marga ? Bagi masyarakat Cina ada 3 Karakter Marga. Pertama, marga yang terdiri dari satu karakter. Kedua, marga yang berkarakter ganda. Ketiga, marga yang berkarakter 3 sampai 9. Angka 9 berarti kelipatan dari angka tiga juga. Di balik pemakaian marga ini sebenarnya juga mau mengungkapkan bahwa Cina selalu terikat pada kultur, walaupun mereka berada di perantauan. Marga inilah yang memperat tali persaudaraan, bahkan jaringan kerja dan bisnis masyarakat Cina kadang terbangun berkat daya ikat marga itu.

Terakhir adalah tentang Tiga Harta Kehidupan. Dalam ilmu kesehatan Taoisme ada tiga harta kehidupan yakni, jing (esensi), chi (energi), dan shen (spirit). Seperti Yin dan Yang, tiga harta ini berbeda namun mereka saling bergantung antara satu dengan lainnya, tetapi tidak saling melebur. Chi adalah mediator, penengah, penghubung. Menurut Taoisme, semua bentuk kehidupan di jagat ini digerakkan oleh chi yang notebene tak kelihatan, hening, tak berbentuk sebelum menembus segala sesuatu.

Marilah kita mengikuti ulasan seputar tiga harta kehidupan ini. Jing mengandung 3 unsur: esensi darah, esensi hormon, esensi yang yang termasuk cairan berat (kelenjar, pelumas di persendiaan tulang dan jaringan lain yang berhubungan dengan air mata, keringan dan urine).
Chi terbagi tiga: yuan-chi (energi primordial, biasanya ada pada anak-anak), yang-chi (energi yang berkembang dalam tubuh selama berlangsungnya hubungan seksual yang bersatu dengan kehangatan, kecerahan dan gerak) dan wei-chi (energi pelindung). Dalam versi Feng shui, energi terdiri dari 3 macam: Pertama, Heaven Chi (Tian Chi) : energi langit/semesta yang terpancar dari surga ke bumi (seperti, sinar matahari, sinar bulan, daya tarik bulan yang menyebabkan pasang-surut laut. Kedua, Di Qi atau Earth Chi: menyerap chi alam semesta dan berpengaruh terhadap bumi seisinya. Bangsa Cina percaya bahwa Earth Qi menyusun garis dan pola energi, termasuk medan magnet bumi dan medan panas bumi. Energi ini juga harus seimbang, kalau tidak maka gempa akan terjadi. Ketiga, Ren Chi (energi manusia) yang terpengaruh oleh chi Tian Chi, dan Di Qi.

Nah, harta kehidupan terakhir bagaimana? Taoisme menerima shen (spirit) sebagai kumpulan bunga-bunga dari “tri-tunggal” Tao, yang melayani esensi tubuh seperti layaknya akar pohon dan energi sebagai batang penghubung.

Sirkulasi Energi dan Feng Shui
Dalam ilmu Feng Shui, diyakini bahwa pada dasarnya semua yang ada di jagad raya ini adalah energi (panas, kimia, gerak, cahaya, elektromagnetis, dll.). Oleh sebab itu, siklus energi dalam rumah, misalnya akan berpengaruh pada banyak aspek kehidupan penghuninya. Manfaat Feng Shui dalam rumah sangat berarti terutama dalam menjaga kesehatan dan juga mengantisipasi gangguan lainnya bagi sipenghuni rumah. Misalnya, pasangan suami istri susah mendapatkan anak, bisa jadi karena ada yang tidak cocok dengan tata rumah, ranjang, asesoris rumah lainnya. Singkatnya, Cina berparadigma (dalam feng shui) bahwa manusia mesti menyatu dengan alamnya. Makanya, feng shui juga diartikan sebagai tatanan yang harmonis antara alam dengan makhluk hidup. Tegasnya, Feng Shui mengajarkan pada kita bahwa kita mesti bersahabat dengan alam. Alam itu sangat mempengaruhi hidup-matinya manusia!

Sebagian paradigma Cina di atas terdapat juga dalam kebudayaan Indonesia. Misalnya, feng shui yang mengajarkan bahwa atmosfir di sekitar rumah (termasuk tata letak) mempengaruhi penghuninya, hal itu juga diyakini masyarakat Nias. Di Pulau Nias, ukuran rumah, dan letak rumah (misal, pintu menghadap ke mana: Timur atau Barat, Selatan atau Utara), selalu dicocokkan dengan ukuran badan kepala keluarga. Kalau tidak, rumah tersebut menjadi penghalang rezeki bagi sipenghuninya. Sehingga, saya berhipotesis: Filsafat Cina ini, sebenarnya mewakili filsafat Asia, yang notabene tak kalah canggihnya dengan filsafat Barat. Jika Filsafat Asia (Cina) menekankan harmoni, dan relasional. Barat menekankan dualisme, bipolar, antagonistic (misalnya, a dan bukan a) yang selalu dipertentangkan, bukan diperpadukan dan diseimbangkan.

Berdasarkan paradigma-paradigma di atas, masyarakat Cina itu selalu menekankan sisi mistik, sedangkan Barat adalah sisi rasionalitas. Mungkin bagi Cina sendiri, paradigma mereka adalah sesuatu yang rasional. Sedangkan paradigma Barat (bagi Cina) sesuatu yang irasional, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, tentu kedua kubu ini selalu menawarkan kebenaran dan paradigmanya sesuai cara berpikirnya. Hal lain yang perlu saya komentari adalah jika Barat melihat waktu secara linear, masyarakat Cina melihatnya lain: siklis. Hal itu bisa kita lihat dalam paradigma Cina bahwa jagad raya ini, diatur oleh sirkulasi energi. Pada titik itu, jangan-jangan paradigma Cina ini, bertendensi seperti teorinya Einstein yang mengatakan: materi = immaterial, yang ujung-ujungnya mengakui bahwa yang kekal di jagad ini adalah energi. Menurut Bpk. Prof., Dr. Ign. Bambang Sugiharto (dalam kuliah logika dan Bahasa), penekanan pada energi, relasional dan harmoni itu sangat kental dalam teori Santiago; walaupun dengan bahasa yang agak berbeda, yakni bahwa yang kekal adalah tendensi. Tendensi bisa diartikan sebagai energi. Sedangkan prinsip relasional a la Santiago adalah bahwa segala makhluk di alam ini berada dalam jaring-jaring interaksi kognitif, ibarat rantai makanan. Jika demikian, energi dan relasi itu sangat penting untuk memahami realitas. Saya sangat kagum akan paradigma-paradigma Cina ini, terutama kecanggihan mereka memadukan antara kebudayaan dengan kecanggihan rasionalitas dan logika hati. Misalnya, feng shui sering dirasionalisasikan ibarat ilmu fisika, dan seolah-olah tidak berdimensi klenik. Memang, Feng Shui itu adalah local genius yang perlu dipelihara dan dikembangkan.

Rabu, 21 Mei 2008

Reformasi Gagal?


Oleh Postinus Gulö

“Anda mesti ingat 4 M: memulai, menyelesaikan, meruntuhkan dan membangun” (Anonim).

Modal “memulai dan meruntuhkan” adalah keberanian, inisiatif dan kadang kenekatan. Akan tetapi, “membangun dan menyelesaikan”, membutuhkan modal tenaga, pikiran, ke-ahli-an, strategi, kedisplinan, komitmen dan tindakan nyata. Meruntuhkan itu gampang. Cuma, membangun kembali susah. Meruntuhkan itu waktunya lebih singkat dibanding membangun dari reruntuhan.

Reformasi itu dimulai dan dilahirkan oleh mahasiswa. Mereka berjuang mati-matian hingga ada yang tewas diterjang peluru. Mereka rela mati demi rakyat Indonesia. Tumbangnya Soeharto telah dibayar oleh nyawa mahasiswa. Peristiwa itu terjadi 10 tahun silam. Kini tinggal sebuah kenangan dan peristiwa sejarah. Apa yang diusung oleh mahasiswa hingga kini masih buram. Tegasnya, kita berhasil memulai tetapi gagal menyelesaikannya. Kita berhasil meruntuhkan, tetapi kita gagal membangunnya.

Pemerintah pasca-Soeharto belum berhasil membangun negara Indonesia. Pemberantasan KKN masih tebang pilih. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih terkatung-katung. Pendidikan hanya dinikmati oleh mereka yang berduit. Kebebasan beragama tidak dinikmati oleh kaum minoritas macam Ahmadiyah. Rakyat miskin disubsidi sekaligus dikuras. Maksudnya, mereka disubsidi setelah harga BBM dinaikkan. Padahal, yang menanggung dampak kenaikan BBM adalah rakyat miskin juga. BBM naik, harga sembako pasti naik. Jadi, tidak ada gunanya subsidi yang dijanjikan itu. Itu hanyalah akal-akalan dan “proyek” yang menguntungkan pemilik kepentingan.

Kita bangga, setelah Soeharto tumbang kebebasan berpolitik mendapat angin segar. Namun, perbaikan di bidang ekonomi dibiarkan mati. Rakyat dibiarkan menderita. Rakyat, kalau perlu, muara dampak negatif dari segala kebijakan. Kasihan rakyat miskin ini, sudah miskin, “dibodoh-bodohi” lagi. Itu sebabnya saya setuju dengan perkataan Mahatma Gandhi: “kemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling buruk”. Ya...rakyat miskin adalah rakyat yang “dilupakan”.

Tujuan Reformasi adalah memperbaiki dan membangun negara Indonesia. Kita tidak membiarkan Soeharto bertindak otoriter dan KKN. Kita tidak mau jika Soeharto memasung kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat serta kebebasan berkumpul/berserikat. Kita tidak mau jika Soeharto menggilas hak azasi rakyat. Kita pun berusaha dan berjuang melengserkannya. Nyatanya, era Reformasi bukan era perbaikan melainkan era ketidakpastian dan kekacauan. Di era Reformasi kita bukan membangun tetapi sibuk menentukan nasib Ahmadiyah yang notabene hanya berada dalam kuasa Allah, sibuk menangkap dan mendidik para politikus-koruptor. Kita sibuk mencekal artis yang goyangannya “menarik”. Tegasnya, kita habis tenaga hanya mengurus soal selangkangan, soal identitas, dan soal ulah para penguasa. Urusan orang miskin tetap dianggap tak penting! Wahai..saudara sadarlah, marilah kita menyejahterakan diri kita, anak kita, keluarga kita, anak cucu kita dan negara kita. Hentikanlah keegoisanmu!


Era Reformasi belum era demokrasi

Saya kurang setuju jika era Reformasi diidentikkan dengan era demokrasi. Sebab, selama ini ukuran demokrasi bagi kita adalah kebebasan. Padahal, kebebasan yang diekspresikan adalah kesewenangan-wenangan, kebebasan sikut-menyikut, kebebasan mencekal goyangan artis, dan kebebasan menabrak hak orang lain, menabrak hak pengikut Ahmadiyah, kebebasan menabrak hak kaum minoritas dan lemah.

Pantaslah jika ada oknum yang berkata: demokrasi itu hanya alat. Saya setuju! Demokrasi tak lebih dari sebilah pisau. Jika pisau itu berada di tangan dokter mungkin ia menggunakannya sebagai alat bedah. Tetapi jika pisau itu berada di tangan penjahat mungkin ia menggunakannya sebagai alat untuk membunuh. Jika pisau itu berada di tangan anak kecil (masih “bodoh”) ia tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Jika pisau itu berada di tangan tukang besi mungkin ia mengubahnya dan “mempermainkannya” menjadi paku dan peniti.

Persis seperti pengandaian inilah pelaksanaan demokrasi Indonesia. Ada demokrasi yang jatuh di tangan penjahat politik, sehingga mereka menggunakannya untuk menabrak hak Ahmadiyah, hak minoritas dan hak kaum lemah. Ada yang jatuh di tangan “penguasa” sehingga mereka melakukan korupsi. Ada yang jatuh di tangan tukang licik sehingga ia canggih “mempermainkan” demokrasi. Ada yang jatuh di tangan orang “bodoh” sehingga ia tidak mampu mengoperasikan demokrasi. Tetapi, ada yang jatuh di tangan orang yang berhati nurani sehingga ia membela HAM, membela orang miskin dan berani mati hanya untuk itu. Itulah mendiang Munir, misalnya.


Reformasi Gradual

Karl Raimund Popper dalam bukunya, The Open Society and Its Enemies (1966), pernah mengatakan, mereformasi sebuah negara jangan dengan ide utopis (utopia engineering), tetapi mesti dengan tindakan gradual: setahap demi setahap (piecemeal social engineering). Jika kita mereformasi sebuah negara, lihatlah yang mana persoalan yang mendesak, berdampak besar dan tanggapilah itu penuh konsentrasi, penuh kepekaan. Untuk konteks Indonesia, usulan Popper ini bisa dipraktekkan. Misalnya, sektor yang mesti dibenahi pada tahap awal adalah sektor pendidikan.

Sektor pendidikan memiliki dampak yang luas terhadap sebuah negara menuju negara kompetitif dalam ranah global. Coba Anda lihat, mayoritas penganggur Indonesia tak berpendidikan tinggi, mereka tidak punya keahlian, tak punya modal yang mesti “dijual”. Lihatlah rakyat miskin, mereka tidak berpendidikan tinggi sehingga daya saing mereka lemah. Mudah-mudahan rencana pemerintah memberikan beasiswa kepada mahasiswa miskin berprestasi (Kompas 14/5/2008), sukses dan tepat sasaran. Dan, lebih realistis lagi jika pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan, tidak hanya kepada orang miskin yang berprestasi.

Lebih jauh Popper menambahkan. Reformasi gradual ini hanya bisa berjalan dengan lancar jika sebuah negara (rakyat, pemerintah, dan penegak hukum) mematuhi 2 kontrol. Pertama, kontrol internal: kejujuran, disposisi batin, bersedia mengevaluasi diri. Di Indonesia, banyak pejabat mengorupsi uang negara karena tidak mengindahkan kontrol internal ini. Anehnya, para koruptor itu berpendidikan tinggi. Dari kasus empiris ini, yang lebih penting adalah bukan kecerdasan intelektual melainkan kecerdasan hati nurani.

Kedua, kontrol eksternal: kesadaran untuk menaati hukum, bersedia dievaluasi oleh orang lain, dan peka merealisasikan tanggung jawab sosialnya: tidak menabrak hak orang lain dan berusaha mengurangi kemiskinan rakyat. Dalam konteks Indonesia, boro-boro para “pejabat” menaati hukum, malahan “mempermainkan” hukum. Di Indonesia, ada jaksa yang ditahan karena diduga menerima suap. Di Indonesia ada mantan Kapolri dan anggota DPR, bupati, gubernur yang ditangkap karena korupsi. Jadi, bagaimana menegakkan supremasi hukum jika penegak hukum saja melanggar hukum? Dan, apakah kita pantas berkata: era kita adalah era Reformasi?


Postinus Gulö, Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati 1o tahun Orde Reformasi (21 Mei 1998 - 21 Mei 2008).

Minggu, 18 Mei 2008

Isu Diskriminasi Jender dalam Film "The Hours"

Peneropong: Postinus Gulö. Judul film: The Hours. Pemain film: Virginia Woolf, Julianne Moore, Meryl Streep, Richard, Cs.
* * *
Perempuan, sosok lembut penuh kerahiman. Ia ibu semua manusia. Semua manusia pernah bersemayam dalam rahim perempuan. Di rahim, kita berenang dalam kenyaman. Sembilan bulan lamanya. Tiada derita. Yang ada serba ada. Yang ada serba senang. Jika dunia ini ibarat rahim, dunia ini begitu nyaman.

Akan tetapi…..ketika jabang bayin lahir. Ia bukan senang. Ia gelisah. Kenyamanan tiada lagi. Lantas ia menangis. Ia mampu merasa: dunia begitu tidak jelas. Penuh perjuangan. Rasa mesti diolah. Pikiran mesti dipelihara. Sikap mesti dikontrol. Kalau tidak, segalanya chaos. Di dunia, senang adalah produk design manusia. Ia bukan seperti rahim yang tinggal “dinikmati” jabang bayi.

Peranan perempuan begitu berharga. Tetapi, mengapa mereka terus ditindas, dipandang kelas dua, laki-laki yang salah jadi? Ketertindasan perempuan itulah yang diangkat dalam film ini. Selamat membaca dan berenung……….!
* * *

Kata pertama dan penting: film ini berbicara tentang diskriminasi-jender. Sutradara mengekspos pengalaman ketertindasan perempuan pada kurun waktu 1920-an sampai Perang Dunia II. Zaman itu penuh kegetiran. Perempuan dilecehkan habis-habisan. Dianggap sampah. Bukan manusia! Mereka hanya objek penderita dan objek kekuasaan. Film ini sungguh melukiskan gejolak ketertindasan itu. Tampilan dan suasana penuh ketegangan merupakan manifestasi pengalaman dari ketiga perempuan yang menjadi actor utama dalam film ini.

Di tengah kerasnya hidup, ketiganya mencari kesejatian dirinya, mencari identitas dirinya atau makna hidupnya. Mereka hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam pencarian makna hidup itu, ketiganya saling mengalami yearning (kerinduan) akan adanya kebebasan dan keadilan. Dikala mereka berjuang, tekanan yang membabi buta terus meneror mereka. Begitu tragis. Hidup ini seolah bukan milik mereka. Kebebasan seolah bukan milik mereka. Ruang kebebasan itu tiada lagi. Seolah mereka adalah musuh paling jahil. Selevel aktor teroris Osama Bin Laden. Mereka dianggap perlu tiada. Tak berguna. Kalau perlu dibasmi. Seolah dunia ini tidak layak mereka huni.

Virginia Woolf hidup tahun 1920-an di pedalaman kota London. Ia seorang penulis novel terkenal berjudul “Mrs. Dalloway”. Saat masih belia ia pernah mendapat perlakuan semena-semena: diperkosa saudara tirinya sendiri. Ia frustrasi. Hidupnya tak berharga lagi di matanya. Keperawanannya direguk orang yang seharusnya menjaga dan melindunginya. Tiada pilihan selain bunuh diri. Barangkali itulah pertimbangannya saat ia bunuh diri. Maka hati-hatilah di saat anda frustrasi. Hati-hatilah di saat anda mengalami pengalaman kelam. Jangan ambil keputusan saat anda masih marah. Jangan memutuskan sesuatu saat anda frustrasi. Anda tidak berpikir panjang saat itu. Anda lebih memilih jalan pintas, cepat tapi tidak bijak. Jangan tutup ruang hatimu menjadi tak ber-ruang. Jangan jadikan hatimu bagai monad tanpa jendela. Jangan jemput kematian sebelum menjemputmu. Nikmati kehidupan selagi masih hidup. Ia anugerah sekaligus tantangan. Tantangan bukanlah neraka. Cobaan bukanlah petaka. Ia adalah tindakan egois manusia. Jika anda merasa manusia, tugasmu adalah mengubah konflik menjadi harmoni. Konflik jangan diakhiri dengan tindakan tragis: bunuh diri.

Laura Brown (nama aslinya: Julianne Moore) adalah seorang wanita yang tinggal di Los Angeles pada saat-saat berakhirnya Perang Dunia II. Ia nyaris bunuh diri. Sebab ia merasa terperangkap dalam kehidupan normal yang dituntut masyarakat kelas menengah tahun 1950-an di kawasan pinggiran kota Los Angeles yang makmur; tetapi sebetulnya bukan kehidupan yang dia kehendaki. Baginya hidup normal adalah hidup tidak normal. Yang normal adalah tidak normal. Baginya, kebebasan adalah ketiadaan aturan. Segalanya suka-sukanya. Mungkin inilah suara yang terbersit dalam hatinya. Namun, setelah dia membaca novel Mrs. Dalloway, Laura Brown mendapat semacam revelatory yang menyadarkan dia bahwa hidupnya sedang terperangkap dalam proses kehancuran: membenarkan yang tidak benar, menolak kenormalan sebagai ketidaknormalan. Kesadaran semacam inilah yang mendorong Laura Brown mencoba mengubah cara hidupnya. Tidak jadi bunuh diri.
Clarissa Vaughan (Meryl Streep) berperan sebagai Woolf kontemporer (wajah baru Woolf) yang menulis novel Mrs. Dalloway. Ia hidup di kota New York. Lesbian, adalah gaya hidup yang ia pilih. Ia sosok kompleks. Tampaknya ia juga biseks. Sebab, ia terlibat dalam percintaan dengan temannya yang bernama Richard, seorang penulis puisi yang sangat brillian. Gonta-ganti pasangan berakibat buruk. Hal itu dialami Richard: ia mati gara-gara AIDS.
Lebih jauh, inti yang mau diungkapkan dalam film ini adalah tentang simbol. Simbol itu adalah bahasa interior yang setiap orang bisa memiliki arti konotasi tersendiri. Ketika Vaughan dan Richard saling mencintai, tak ada tindakan yang bisa mewakili kata selain pemberian setangkai bunga. Bunga begitu berarti, menyimbolkan betapa dalamnya cinta Vaughan terhadap Richard. Namun, cinta yang bisa menimbulkan kebahagiaan istimewa bagi pelakunya menjadi sirna ketika seseorang dilanda penderitaan, penyakit. Richard adalah sosok yang sangat dikagumi oleh Vaughan. Dunia ini seolah tak berarti tanpa Richard. Namun, dalam perjalanan waktu, setelah Richard dilanda AIDS, Richard menjadi berubah sikap: dunia menjadi terlalu terang, menyilaukan baginya. Oleh karenanya, ia menyimpulkan bahwa anugerah (dicintai, diberi bakat sebagai seorang pengarang puisi yang dikagumi banyak orang) adalah sebuah kecelakaan, pembawa petaka baginya. Tidak hanya itu, Richard sadar, seks bukan sekedar kenikmatan. Seks adalah ungkapan kejujuran. Seks adalah ungkapan cinta. Dan cinta adalah kejujuran itu. Seks bukan jawaban atas nafsu semata. Seks mesti terarah. Jangan gonta-ganti pasangan. Anda mengikuti nasihat ini, silakan. Tidak juga tidak apa-apa. Namun, memilih “tidak” anda mesti siap diserang penyakit mematikan: AIDS.

Karakter yang lebih ekstrim dari ketiganya adalah Virginia. Ia adalah sosok yang tidak mau dikawal, diatur oleh orang lain, oleh siapapun. Baginya, hidup yang selalu diatur orang lain adalah hidup yang kabur, tidak bermakna. Virginia mendobrak dominasi dan menggantinya dengan otonomi. Sikapnya ini sebagai ekspresi pencarian identitas diri. Ia tidak mau kalau hidupnya terus dicekokin oleh orang lain. Singkatnya, ia tidak rela hidupnya selalu berada di bawah payung tekanan. Ia tidak rela membiarkan dirinya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Ia ingin menjadi manusia. Dan, ia ingin diperlakukan secara manusiawi. Harapan Virginia ini adalah harapan semua perempuan. Mereka bukan kelas dua. Mereka bukan lelaki setengah jadi. Mereka adalah manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi.

Bestfriends