Minggu, 08 Juni 2008

Ketika Manusia Dirundung Kebengisan

Peneropong: Postinus Gulö. Kategori: Seni-Teater. Judul Naskah: Krapp’s Last Tape (1958). Penulis Naskah: Samauel Beckett. Pernah dipentaskan secara tunggal oleh Tony Broer, di FF-Unpar (18/11/2006). Tony Broer adalah aktor teater dan dosen STSI, Bandung.

Coba Anda bayangkan jika manusia menjadi tidak manusiawi. Ia pantas dilabel- jika ada seseorang yang latah menamparnya - dengan sebuah sinisme: dasar bengis. Teater monolog yang berjudul: Krapp’s Last Tape (Pita Terakhir), karya Samauel Beckett yang lahir pada tanggal 13 April 1906 di Foxrock, County Dublin, Irlandia adalah sebuah deskripsi kebengisan manusia di zaman perang Dunia II. Kala itu, seolah manusia ibarat mesin yang tak punya hati. Jadi, sebenarnya pesan moral teater ini hampir sejalan dengan sindiran Thomas Hobbes: manusia adalah makhluk anti sosial, bagai mesin tak berakal.

Menurut Beckett, KRAPP’S LAST TAPE is an extraordinary study of mortality, creativity and memory. Beckett hidup di era yang tak jelas, nothing, absurd, karena berjuta-juta manusia yang mati konyol dan yang harus menanggung penderitaan akibat Perang Dunia II.

Krapp’s Last Tape sebuah catatan memorial mengenang zaman yang brutal Perang Dunia II itu. Penguasa di era Perang Dunia II seolah tak peduli pada penderitaan dan kematian orang-orang tak berdosa (innocent). Sebagai seorang yang memiliki daya sensibilitas (compassion), Beckett mampu menangkap roh zaman (zeitgeist) yang dilanda kengerian dan ketakutan. Oleh karenanya, Beckett yang juga dilanda kefrustrasian pernah berkata: “Perhaps my best years are gone. When there was a chance of happiness. But I wouldn’t want them back. Not with the fire in me now. No, I wouldn’t want them back.” Masa lalu beliau sangat suram, sehingga ia tak mau terulang – dalam dirinya - segala kepahitan yang pernah ia alami.

Perang Dunia II begitu brutal. Bengis. Tak manusiawi. Itu sebabnya Beckett anti perang, anti kekerasan. Walau demikian, Beckett sadar bahwa kefrustrasiannya hanya dapat teratasi jika ia bersedia mengenang masa-masa romantis yang pernah ia alami. Dalam adegan-adegan Krapp’s Last Tape ini, Tony Broer memperlihatkan saat-saat kegagalan yang dialami Beckett yang seolah tak pernah terselesaikan. Walaupun demikian, Beckett tetap bertahan untuk hidup karena ia selalu mendengarkan kembali masa lalu romantisnya yang telah ia rekam sendiri. Jadi, jika Anda termasuk orang yang tertekan, memiliki pengalaman buruk, ingatalah saat romantis, saat yang menyenangkan yang pernah Anda alami. Jadikanlah kenangan indah Anda sebagai teman Anda di saat Anda merasa kesepian. Ini bukan sekedar bernostalgia melainkan mencoba melepaskan tembok keterkungkungan kita.

Saat ini kita tidak aman (?). Seolah maut selalu mewajah. Kini, perang bisa terjadi di mana saja dan kapanpun. Pelaku tak kenal siapa sasaran. Yang penting agenda perang tercapai. Pernah, Indonesia panas. Poso bak kota angker bersimbah darah, itu terjadi di masa silam. Papua terus angkat bicara, ingin merdeka. Mereka barangkali tak salah. Pasti ada hal yang menjadi pemicunya. Pemicu itu tak tepat jika didiamkan. Jika dibiarkan api menjalar di sekam, hati-hati, apinya akan membabat habis sekamnya tanpa Anda tahu kapan ia menyambar Anda. Adalah menarik komentar dan apresiasi serta alur pemikiran Tony Broer terhadap naskah yang ditulis pada tahun 1958 ini. Tony Broer mengatakan bahwa naskah ini ditulis oleh Beckett pada dekade keabsurditasan. Zaman yang digeluti Beckett tak jauh berbeda dengan apa yang Indonesia dan dunia alami saat ini. Manusia Indonesia itu absurd, ganjil, aneh. Sampah dibuang ke mana-mana tanpa mempedulikan akibatnya. Akibat sampah tak jauh dari akibat perang: manusia tetap jadi korban. Masih masuk akal jika yang longsor adalah gunung. Tapi di Indonesia lain halnya, justru sampah pun bisa longsor dan menimbun seratusan manusia (seperti yang terjadi di Leuwi Gajah tahun 2005 silam). Lumpur di Sidoarjo adalah akibat kerakusan manusia (bencana yang disengaja) tapi anehnya pemerintah seolah biasa-biasa saja; tak ada tindakan yang tegas untuk menanggapinya.

Lebih jauh Tony Broer melihat keabsurditasan dijenjang internasional. Keegoisan Amerika Serikat di bawah komando Presiden John Walker Bush yang menginvasi Irak telah menimbulkan ratusan ribu orang meninggal. Di Irak, berapa anak tanpa dosa yang kehilangan orangtua hanya gara-gara ulah Bush untuk mencapai tujuannya yang tak jelas. Bush rakus kuasa! Ia ingin menjadi penguasa tunggal dunia! Tentara-tentara Amerika tak peduli pada nyawa orang (?). Main babat saja! Itu sebabnya sebelum menampilkan teater monolog Krapp’s Last Tape, Tony Broer memutar video clip, sepenggal aksi brutal penembak misterius sebagai bayangan betapa kejinya kejatahan perang.

Melihat situasi seperti sekarang ini, barangkali ada benarnya pendapat Thomas Hobbes: manusia ibarat harimau bagi sesamanya, homo homini lupus. Atau teori Darwinisme: survival of the fittest, yang kuat dialah yang menang! Sekarang, dunia menjadi lembah air mata (lacri marrum valle), samudera penderitaan (the ocean of suffering). Jika Thomas Aquinas pernah berkata, hidup bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk menjadi berkat bagi orang lain (“Non sibi vivere, sed et aliis proficere”), di zaman sekarang justru yang terjadi adalah, manusia menjadi neraka bagi sesamanya.

Teater ini sebuah pisau refleksi yang mencoba menguliti hati nurani para penguasa. Agar topeng keegoisan terlepas sehingga menyembul belaskasihan. Teater ini barangkali (adalah) menjadi refleksi bagi para penguasa Indonesia yang tergelincir ke dalam belukar keegoisan dengan membabat habis uang rakyat melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di negeri ini, kekuasaan, jabatan selalu diburu. Para pemburu kekuasaan cerdik melihat bahwa di balik kekuasaan ada setumpuk “kesempatan” yang bisa dimanfaatkan! Oleh karenanya, jangan heran jika demi mencapai kekuasaan, apapun dilakukan dan dipaksakan. Korupsi, kolusi dan nepostisme menjadi cara yang dianggap paling tepat. Maka, di balik perjuangan menggapai takhta kekuasaan semakin jelas tujuannya: bukan untuk menjadi pelindung rakyat melainkan untuk menjawab kerinduan dalam terminologi keegoisan. Keegoisan para penguasa di negeri ini semakin diperjelas oleh banyaknya para penguasa yang telah dijatuhi hukuman karena KKN. Ya, semoga mereka insaf saja!

Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat, Unpar, Bandung

Tidak ada komentar:

Bestfriends