Jumat, 23 Mei 2008

The Lesson: Ekspresi Dehumanisasi dan Keabsurditasan Bahasa

Peneropong: Postinus Gulö. Kategori: Seni-Teater. Judul Naskah: The Lesson. Penulis Naskah: Eugene Iunesco. Pernah dipentaskan oleh Mahasiswa Fakultas Filsafat Unpar di STSI, Bandung (2006)


''Cerdas, seorang mahasiswi doktoral, tak berdaya ketika sang Profesor menghabisi nyawanya. Profesor begitu kejam. Tapi anehnya, sang professor pada akhirnya justru tunduk pada pembantunya sendiri”. Kita mengira bahwa ini adalah cerita. Namun, bagi Iunesco, ini bukan cerita. Iunesco sangat anti cerita, anti teater, anti plot, anti literatur, anti realisme, anti logika. Ini teater absurd Bung! Menurutnya, yang terjadi di panggung adalah peristiwa yang mungkin saja tak pernah terjadi dalam kenyataan hidup. Seni tidak pernah nyata dan tidak dapat dikembalikan pada kenyataan. Yang nyata adalah “kata” pisau yang telah membunuh sang mahasisiwi. Dan dari fenomena itu, kata dan bahasa telah menjadi alat kekuasaan, kekejaman.

Kekejaman manusia di era Perang Dunia II (PD II) telah mengakibatkan banyak manusia yang depresi, frustrasi, barbaris, skeptis dan apatis serta hopeless. Banyak kaum intelektual mengalami dis-ilusi, pesimis, dan tidak percaya lagi pada konsep. Konsep Hegel tentang idealisme mutlak yang berkeyakinan bahwa “ide yang dimengerti dengan realita yang nyata itu sama saja”, tidak dipercayai lagi. Bagi mereka hidup manusia pada era itu sangat absurd, tak bermakna. The Lesson, karya Eugene Iunesco (seorang Romania) merupakan sebuah naskah teater absurd yang menampilkan bahwa manusia telah terpenjara dalam bahasa yang menjadikan manusia begitu otoriter, dehumanisasi. Iunesco tidak mengerti mengapa ia menulis naskah ini, namun sekaligus juga naskahnya ini adalah wujud ketidaksetujuannya pada kekejaman Nazi dan PD II. Ia anti nazi, anti Perang Dunia II.
Melalui naskah The Lesson, Iunesco mau merumuskan situasi ketercabutan manusia dari akar-akar metafisik dan moralitas. Sebagai dramawan dan seniman ia mau menyajikan keabsurditasan bahasa manusia, sekaligus ketakberartian, situasi-situsai tidak logis. Namun, dramatisasi yang dimainkan dalam The Lesson ini sebenarnya merupakan siasat Iunesco merumuskan keabsurditasan dan devaluasi bahasa. Bahasa yang tadinya sebagai sarana komunikasi, sekarang malah ibarat pisau yang berfungsi ganda.
Bagi Iunesco, bahasa telah kehilangan makna komunikasinya, tidak seperti yang dilukiskan dalam film Journey of Life: bahasa yang membedakan manusia dari binatang sehingga manusia tidak pernah terisolasi dari dunianya. Sekarang, yang terjadi sebaliknya dunia semakin kacau karena sudah tidak ada lagi logika keberbahasaan. Tidak heran jika manusia sulit mengkomunikasikan dirinya sekaligus sulit berkomunikasi dengan orang lain. Personifikasi bahasa adalah sang Profesor yang menyalahgunakan pengetahuannya, tak mampu menggunakan logikanya. Bagi Iunesco, seni adalah salah satu upaya untuk mengkomunikasikan pengalaman dis-ilusi itu. Oleh karena itu, dalam panggung teater absurdnya ini, yang terpenting adalah setting, property, karena itu merupakan ekspresi sekaligus deskripsi betapa rumitnya interior manusia.

Dalam naskah The Lesson, Iunesco memainkan kata-kata, menggunakan kata yang sederhana, kata-kata yang sama yang seharusnya berbeda. Iunesco melihat bahwa kata memiliki arti konotasi pribadi, manusia memiliki tafsiran arti pada setiap kata, sehingga bahasa akhirnya menjadi rumit, absurd. Tidak hanya itu, “bahasa” jika ditarik ke dalam tataran ide akan selalu mengandung rencana udang di balik batu. Akhirnya, bahasa adalah ranah memperjuangkan kepentingan diri (self-interest). Maka, tepat sekali kata William James: “Idea is planning of action”, ide adalah rencana tindakan, siasat untuk mewujudkan mimpi-kepentingan. Selain itu - jika ditilik lebih jauh - bahasa sebenarnya ibarat sebuah perangkap, karena nyatanya manusia mampu mempermainkan bahasa, namun tanpa sadar juga manusia justru dipermainkan oleh bahasa (objek kuasai subjek). Maka, tak heran jika akhir-akhir ini pun bahasa justru menjadi alat agitasi, sarana provokasi, alat menghancurkan tatanan persahabatan.
Seringkali, pidato, puisi, ceramah diartikan sebagai sindiran (insinuatif), atau ekspresi menenggelamkan orang. Dan, inilah sikap yang telah terbangun permanen di dalam sendi-sendi cara berpikir manusia zaman kiwari: sikap su’u-dzon, berprasangka buruk. Atmosfir tindakan yang kian terbangun adalah penggusuran dimensi dialogis dan polylogis, yang penting monolog yang notabene sebagai cerminan keegoisan dan kedangkalan berpikir, apalagi jika ia merasa berilmu, merasa terdidik.

Tak ayal lagi, ada yang sinis dan menuduh bahwa manusia modern telah menjadi masyarakat autis, sibuk dengan dirinya sendiri. Karena merasa telah banyak menguasi ilmu. Oleh karenanya, tak heran jika tidak jelas (lagi) batas antara kebenaran dan pembenaran. Yang terjadi, jika Anda mampu merangkai sebuah defenisi dan dapat diterima secara rasional, Anda dibenarkan. Apalagi kalau yang merangkai defenisi itu memiliki otoritas, seperti sang Profesor dalam teater The Lesson itu: segalanya bisa terbelokkan dan dibenarkan. Kata-katanya pun berbisa!


Tidak ada komentar:

Bestfriends