Kamis, 18 Desember 2008

Kegiatan Ekonomi Harus Mengarah Pada Usaha Memanusiawikan Manusia


Oleh Postinus Gulő*

Mestinya, kegiatan ekonomi adalah proses realisasi manusia untuk memanusiawikan dirinya dan sesamanya. Jadi, kegiatan ekonomi bukan sekedar untuk mendesain manusia menjadi homo oeconomicus (manusia ekonomi) melainkan juga homo socius (makhluk sosial). Oleh karena itu, kegiatan ekonomi seharusnya di arahkan untuk menjawab kebutuhan individual sekaligus kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Jika arah kegiatan ekonomi dijalankan seperti ini maka, visi-misi kegiatan ekonomi berada pada jalur memanusiawikan manusia.


Saya sangat terinspirasi dengan tulisan tokoh ekonomi kondang: Michael Novak menyangkut gagasannya dalam aktivitas ekonomi. Tokoh ini mengidealkan manusia sebagai makhluk yang harus menghasilkan sesuatu (homo faber), harus mampu mendesain dan merekayasa hidupnya. Dalam dunia dewasa ini, agaknya benar arah pemikiran Novak bahwa manusia dewasa ini dilihat oleh pelaku ekonomi sebagai modal (capital), investasi, dan komoditi.

Memang saya tidak begitu setuju dengan pendapat ini. Sebab, jika demikian, kegiatan ekonomi justru menjadikan manusia bukan manusia lagi. Manusia menjadi sama seperti barang yang layak diperdagangkan dan dipertukarkan dengan barang.


Novak mengatakan bahwa manusia dewasa ini mestinya memiliki daya efisiensi dan keberanian berusaha. Manusia harus selalu kreatif dan produktif (harus menghasilkan sesuatu). Semua idealisme ini terealisasi jika manusia memiliki “human capital”. Lantas, apa saja human capital itu? Novak menjawab: human capital itu adalah keterampilan, intellectual skills dan bukan sekedar physical capital. Saya melihat bahwa ada human capital yang dilupakan oleh Novak, yakni: kesempatan (chance) dan popularitas (popularity). Orang kaya yang memiliki relasi bisnis yang baik (networking) akan mudah mendapat pekerjaan. Anak pejabat tentu lebih banyak kesempatan mereka, terutama jika mereka memanfaatkan popularitas orangtua mereka. Sedangkan orang miskin tidak demikian.

Bagi Novak, manusia adalah makhluk produktif. Dengan kata lain, yang dianggap oleh Novak sebagai manusia adalah hanya orang yang produktif. Manusia adalah subjek yang terpilih dan memiliki pikiran dan daya untuk mencipta. Novak, dalam tulisannya: “Economics as Humanism”(lihat www.leaderu.com/ftissues/ft9710/opinion/novak.html) mengidealkan seorang individu harus mampu mengeluarkan dirinya dari jurang kemiskinan, sebab ia memiliki kebebasan untuk memilih. Sangat disayangkan, memang, sebab dalam artikel tersebut, Novak tidak menawarkan solusi bagaimana agar kegiatan ekonomi mampu memanusiawikan rakyat miskin. Seperti kita ketahui, warga miskin tidak mampu memilih, tidak bebas dan tidak memiliki keahlian. Orang miskin, tidak mampu memilih mau kerja di mana dan kapan karena mereka tidak memiliki skill yang sesuai kebutuhan kegiatan ekonomi. Warga miskin tidak bebas memilih kebutuhan apa yang ia perlukan karena mereka tidak memiliki modal yang cukup. Warga miskin hidup dengan paksaan keadaan sosial. Warga miskin tidak mampu menguasai keadaan sosial-ekonomi!


Pada era globalisasi ini, warga miskin selalu berada di bawah tekanan kaum “kuat” yang mengeksploitasi mereka. Ada alasan yang sangat pelik mengapa warga miskin gampang dieksploitasi: warga miskin tidak memiliki human capital, yang mereka miliki hanyalah physical capital (kekuatan fisikal). Inilah yang dilupakan oleh Novak. Novak memukul rata bahwa manusia memiliki human capital padahal realitanya, tidak. Nah, seharusnya pelaku ekonomi harus mampu memikirkan bagaimana agar warga miskin ini mengalami dirinya sebagai manusia yang manusiawi. Pelaku ekonomi seharusnya memikirkan bagaimana agar warga miskin ini mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, mampu menikmati sekolah yang layak, hidup layak dan pekerjaan yang layak.

Mari kita kembali pada gagasan Novak. Judul artikelnya menarik: “Economics as Humanism”. Sejauh yang saya tangkap, humanisme yang dimaksud oleh Novak di bidang ekonomi bukan humanisme yang diarahkan ke luar (bukan untuk menyejahterakan orang lain) melainkan bagaimana setiap individu memajukan kesejahteraan hidupnya. Nampaknya, Novak mengkritik efek ambivalensi dari aliran sosialisme dan juga kapitalisme. Ketika sosialisme bangkit, dan menekankan tanggung jawab serta milik umum, justru individu tak punya greget untuk berdikari dan mandiri. Novak ingin mematahkan (meng-counter) ide sosialisme.


Dari artikel ini, sepertinya Novak adalah pengagum kapialisme. Kaum kapitalisme melihat segalanya sebagai “commodity and capital” dan mengizinkan setiap individu menumpuk kekayaan. Artinya, individu berhak menikmati kekayaan di antara kaum miskin yang mati kelaparan. Visi-misi kapitalisme semakin parah sebab tanggung jawab diserahkan dalam wilayah privat dan segalanya harus diswastanisasikan. Peran pemerintah untuk menentukan arah kebijakan ekonomi tidak berlaku lagi.


Menurut saya, kegiatan ekonomi mampu berperan sebagai gerakan humanisme jika aktivitas ekonomi dijadikan salah satu cara untuk melihat kenyataan dan juga untuk memikirkan generasi berikutnya. Aktivitas ekonomi layak sebagai gerakan humanisme jika para pelaku ekonomi tidak hanya memikirkan kesejahteraan dirinya tetapi juga mau mengangkat kehidupan masyarakat miskin yang memang lemah dari segi “human capital”. Sekurang-kurangnya, masyarakat miskin ini dilatih, diberi penyuluhan serta diberi kesempatan untuk sekolah, menikmati pendidikan yang layak.


Postinus Gulő adalah alumnus Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Bestfriends