Jumat, 11 April 2008

Benarkah Aku Jujur?

Saya sering iba. Iba manakala orang membutuhkan bantuan. Saya malah kecewa jika ada yang diminta bantuan tidak mau memenuhinya hanya karena rasa jengkel, pernah tidak mengikuti nasehatnya. Saya kecewa ada alasan. Allah adalah Maharahim, Mahakasih, Ia mencintai kita bukan karena jasa kita. Banyak orang percaya ini. Tetapi, mengapa kita pilih kasih? Mengapa kita hanya melayani orang yang tidak mengecewakan? Mengapa kita menjauhi orang-orang yang pernah tidak menaati nasehat baik kita?

Cerita anak yang hilang adalah parabel yang menarik. Anak sulung memilih meninggalkan bapanya. Ia pergi bukan mencari sesuatu yang berharga. Ia pergi untuk berfoya-foya, berenang dalam kekacauan. Tapi, suatu saat ia menyadri diri telah berbuat salah. Ia lantas mau kembali kepada bapanya dengan tunduk dan minta maaf. Bapanya tidak memarahinya, tidak menjauhinya. Bapanya bersuka cita. Bapanya turun dari singgasananya, merangkul dan mencium anaknya itu. Tidak hanya itu, bapanya memakaikan jubah terindah dan menyuruh para pembantunya untuk menyembelih domba tambun. Bapa mengundang semua handaitaulannya.

Cerita anak hilang, benar-benar hilang dalam sikap seorang figur idola saya pada tanggal 1 Januari 2008. Seseorang hanya minta didoakan, ia tidak peduli. Ia punya alasan. Sang pemohon bantuan, mengecewakan, tidak menaati nesehat injilinya.

Saya ada saat peristiwa itu terjadi. Saya pun kecewa. Belakangan saya berpikir sesuatu yang lain dari peristiwa itu: benarkah aku jujur. Benarkah aku sungguh iba. Bagaimana jika orang yang pernah mengecewakan saya kembali meminta bantuan saya, mampukah saya melayaninya dengan sepenuh hati?

Saya sadar pengalaman ini begitu berharga. Ia adalah peristiwa yang menjadi mozaik hidup saya. Barangkali ia hanyalah sekeping kaca dalam mozaik yang ikut memperindah mozaik hidupku sendiri. Diriku tetap diriku, aku pun kadang kurang mengerti siapa diriku. Namun, di saat aku menyadari siapa diriku, di saat itu aku merealisasikan diriku.

Tidak ada komentar:

Bestfriends