Kamis, 29 November 2007

Telaah Teologis Kekhasan Moralitas Kristiani

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas rahmat dan penyertaan-Nya sehingga paper yang berjudul: Telaah Teologis Kekhasan Moralitas Kristiani, penulis dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu. Paper ini disusun sebagai salah satu rangkaian pembelajaran dalam Matakuliah Praktikum Penulisan II, di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Melakukan suatu kegiatan, kadangkala seseorang tidak terlepas dari kesulitan. Demikian juga pengalaman penulis dalam menyusun paper ini. Penulis mengalami tantangan dan kesulitan terutama dalam merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat, khususnya dalam memaparkan kekhasan moralitas Kristiani. Karena, moralitas khas Kristiani (dalam hal ini Katolik) cukup filosofis-teologis sekaligus sangat meditatif: suara hati dan discernment sangat diperlukan untuk melihat dan melakukan sesuatu atas dasar kehendak Allah. Namun, berkat dorongan dari berbagai pihak, khususnya pengarahan dari dosen pembimbing, dukungan dan bantuan teman-teman sekomunitas, serta upaya penulis untuk mencari berbagai sumber buku yang berkaitan dengan moralitas Kristiani, kesulitan itu dapat diatasi penulis. Oleh karena itu, tidak ada kata yang paling berharga, selain kata terima kasih. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya secara khusus saya sampaikan kepada:
1. Pastor Dr. Laurentius Tarpin, OSC, selaku dosen pembimbing penulis yang telah bersedia mendukung penulis serta mengoreksi paper ini dengan cermat dan konstruktif;
2. Para dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (Bpk. Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto, Bpk. Prof. Dr.phil. Budiono, Bpk. Prof. Dr. Amril Ghafar Sunny, Bpk. Prof. Jacob Sumardjo, Pst. Dr. Leo Samosir, OSC, Pst. Fabianus Heatubun Pr, Bpk. Fransiskus Borgias Drs., M.Th, Bpk. Slamet Purwadi, S.Ag, MA., Pst. Th. Maman Suharman OSC, Drs., S.L.L,., Pst. Ch. Harimanto Suryanugraha, OSC., Mr. Roy Voragen, Drs., MA, Bpk. Stefanus Junathan, S.Ag., MA, Pst. Agus Rachmat Widiyanto, OSC, Drs., L.Ph). Dari yang terhormat ini, penulis menimba banyak gagasan-gagasan inspiratif, terutama dalam proses perkuliahan secara akademik;
3. Para Pastor di Biara Skolatikat OSC Pratista Kumara Warabrata (Pst. Y. B. Rosaryanto, OSC, Pst. H. Tedjoworo, OSC, Pst. Handy, OSC dan Pst. Bimo, OSC), selaku formator penulis yang telah memberi kesempatan sebanyak-banyaknya kepada penulis untuk menyusun paper ini;
4. Ibu Lientje Gang, sebagai pustakawati Fakultas Filsafat, Unpar yang telah berkenan meminjamkan buku-buku kepada penulis;
5. Teman-teman seperjuangan dan seperjalanan di Biara Skolatikat OSC Pratista Kumara Warabrata (Fr. Eko, Fr. Cornel, Fr. Uung, Fr. Herry, Fr. Domi, Fr. Fredy. Fr. Riston, Fr. Didi, Fr. Bene, Fr. Lerry, Fr. Arnanda, Fr. Dadang, Fr. Unggul, Fr. Felix, Fr. Jasinus, Fr. Heins, Fr. Noverius, dan Fr. Ian, Fr. Deddy), atas insight cemerlang dan dukungan moril yang telah diberikan kepada penulis selama menyusun paper ini;
6. Teman-teman mahasiswa di Kampus Fakultas Filsafat, Unpar atas saran, kritik dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan paper ini;
7. Orangtua beserta segenap anggota keluarga saya, atas segala doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam paper ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis dengan lapang dada menerima saran dan kritik dari para pembaca. Akhir kata, penulis mengharapkan agar paper ini dapat bermanfaat bagi para permbaca dan juga bagi penulis, khususnya dalam menginternalisasikan dan mengaktualisasikan kekhasan moralitas Kristiani dalam setiap detik langkah dan tindak-tanduk hidup sehari-hari.



Bandung, Desember 2006
Penulis





B A B I
P E N D A H U L U A N




Initium omnis peccati est superbia, et initium superbiae hominis est apostatare a Deo”: ‘the beginning of all sin is pride and the beginning of the pride of man is to fall off God.’
(St. Thomas Aquinas)


1. 1 Latar Belakang Penulisan

Moral dan iman harus selalu disandingkan, tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Moral yang benar adalah moral yang dilandaskan dan merupakan ungkapan iman. Demikian halnya tindakan harus selalu bersanding dengan nilai-nilai moral. Suatu tindakan dianggap “tersesat” jika bertentangan dengan visi utama moral yakni melakukan kehendak Allah. Oleh karena itu, tindakan semau gue, bertentangan dengan nilai-nilai moral. Karena prinsip ini, akan menggiring seseorang ke lembah keegoisan dan kesombongan. Seseorang yang menganut prinsip semau gue akan bertindak tanpa kontrol, tidak bertanggungjawab!

Percampuran dan pertukaran ilmu pengetahuan telah merangsang manusia untuk berpikir lebih imajinatif dan kreatif. Daya berpikir inilah yang memampukan manusia menemukan disiplin ilmu baru: manusia tidak hanya stagnan pada keberhasilan-keberhasilan para pendahulunya. Namun, ketika manusia mampu mencipta dan daya berpikirnya semakin canggih, manusia kadangkala jatuh ke lembah kesombongan; saat itulah nilai-nilai moral dan norma-norma tradisional semakin digusur.

Akhir-akhir ini, tatanan moral semakin tidak dihiraukan. Semakin banyak manusia yang hidup seolah Tuhan tidak ada. Akibatnya, manusia menjadi “tuhan” bagi dirinya sendiri, sehingga segalanya boleh dilakukan (permisif). Sebagian masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya, menjadi begitu kejam: yang diusung dalam menyelesaikan masalah adalah kekerasan dan bukan dialog yang dilandasi cinta. Singkatnya, manusia zaman kiwari banyak yang lebih memilih sikap hostility daripada sikap hospitality (meminjam istilah Paul Ricoeur). Sikap yang kian terbangun adalah sikap curiga, sikap solipsis, sikap berprasangka buruk (negative thinking, su’udzon) dan bukan sikap berprasangka baik (positive thinking, husnu’dzon). Oleh karena itu, kita tidak heran lagi jika para teroris semakin leluasa melancarkan aksinya yang mengakibatkan pertumpahan darah dan kekerasan terjadi di mana-mana. Melihat situasi seperti ini, barangkali ada benarnya pendapat Thomas Hobbes: homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya atau teori Darwin tentang survival of the fittest, yang kuat dialah yang menang.

Tergusurnya moral bisa jadi disebabkan oleh kesadaran-kesadaran baru manusia zaman kiwari yang berusaha mereduksi segalanya menjadi kesadaran subjektivitas. Kesadaran-kesadaran baru tersebut dapat kita tinjau dengan adanya fenomena-fenomena baru serta gerakan masyarakat yang menghendaki adanya perubahan. Perubahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, fenomena dan kesadaran dalam tataran kehidupan sosial. Masyarakat yang merasa didominasi oleh lembaga agama dan pemerintahan berusaha membebaskan diri dari segala yang mereka anggap sebagai yang mengekang gerak hidup, sehingga mereka merasa tidak bebas. Oleh karena itu, mereka melakukan segala cara untuk membebaskan diri dari segala yang membelenggu, kadangkala tindakan anarkis pun dijadikan salah satu pilihan.

Kedua, gejala yang terjadi di kalangan kaum muda: banyak kaum muda yang lebih memilih prinsip pro-choice daripada prinsip pro-life. Akibatnya, pembunuhan a la teroris, aborsi dan euthanasia dianggap bukan tindakan yang salah karena itu merupakan salah satu bentuk pilihan pribadi (self-choice), keputusan atas dasar kebebasan (freedom). Jadi, kebebasan telah direduksi menjadi kebebasan psikologi, kebebasan semau gue.

Ketiga, revolusi dan kecanggihan teknologi justru melahirkan problem baru: senjata menjadi alat membasmi musuh, membasmi manusia yang seharusnya dilindungi dan dicintai. Saat keegoisan kian membelenggu manusia, saat itulah dimensi kebebasan beradab berubah menjadi kebebasan biadab. Di tengah dunia yang seolah serba gelap ini, umat Kristiani idealnya tidak boleh diam, tetapi harus berpartisipasi dalam memperjuangkan perdamaian (rekonsiliasi) dan nilai-nilai moral. Kesadaran inilah yang mendorong penulis untuk mengusung tema tentang kekhasan moralitas Kristiani yang notabene kian terkikis dari setiap tindak-tanduk umat Kristiani sendiri.

Awalnya, kita bangga pada revolusi ekonomi, industri dan kultural, karena seolah peluang untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin terpenuhi. Namun, zaman keemasan itu berubah menjadi zaman kecemasan: akibat dari kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia menjadi kacau balau. Perang seolah tak pernah sepi di muka bumi ini (namun, kita jangan menjadi pesimis, kita mesti memiliki harapan akan terciptanya the new society). Jadi, diera pasca-zaman keemasan terjadi degradasi moral manusia menuju sikap destruktif. Singkatnya, kesadaran-kesadaran baru atau worldview-worldview baru selalu melahirkan problem moral baru.

Adalah banyak orang yang susah membedakan mana keadilan dan ketidak-adilan, mana yang baik dan benar dan mana yang buruk dan salah. Sekarang yang terjadi justru yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Seolah kebenaran tergantung pada otoritas dan argumen sipemilik kepentingan. Di tengah dunia yang kacau balau itu, tentu pemikiran yang netral yang perlu dilihat adalah sisi moralitas. Kejahatan semakin menjadi-jadi karena manusia semakin jauh dari nilai-nilai moral, nilai-nilai iman dan cinta tanpa syarat.

1. 2 Tujuan Penulisan

Tujuan utama penulisan paper ini adalah untuk membuka wawasan saya dalam praktek dan latihan penulisan ilmiah yang benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah disempurnakan. Dengan kata lain, paper ini saya susun untuk memenuhi proses belajar-mengajar dalam Matakuliah Praktikum Penulisan II di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan. Terlepas dari itu, penulisan peper ini juga bertujuan untuk membuka pemahaman saya akan kekhasan moralitas Kristiani dalam tataran teologis. Dalam menelusuri kekhasan moralitas Kristinai tersebut, penulis mencoba memaparkannya dengan mengkonfrontasikan beberapa pandangan para teolog dan juga mencoba menggalinya berdasarkan Kitab Suci.

1. 3 Metode Penulisan

Dalam mengeksplorasi dan memahami serta memaparkan kekhasan moralitas Kristiani, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (sumber data sekunder). Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh penulis dalam menelusuri kekhasan moralitas Kristiani, baik kekhasan moralitas Kristiani yang diserukan oleh para teolog maupun kekhasan moralitas Kristiani berdasarkan Kitab Suci.

Pertama, penulis mengumpulkan sejumlah buku literatur yang membahas dan berhubungan dengan moralitas Kristiani.
Kedua, penulis menyeleksi buku-buku tersebut, supaya lebih efektif dan produktif, tidak berbelit-belit.
Ketiga, penulis membuat suatu frame-work berupa skema besar (out line) yang bertujuan untuk melakukan semacam komparatif pandangan tentang moralitas Kristiani dan untuk mengembangkan ide yang koheren dengan tema yang saya garap.
Keempat, penulis meminta pandangan dan pemahaman teman-teman sekomunitas di Biara Skolastikat OSC Pratista Kumara Warabrata serta pandangan teman-teman mahasiswa di Kampus Fakultas Filsafat, Unpar, supaya mencuat inspirasi baru dan agar ada dorongan psiokologi dan moril bagi penulis untuk berusaha keras memaparkan inti yang disampaikan dalam tema paper ini. Di samping itu, penulis berkonsultasi dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan informasi mengenai kekhasan moralitas Kristiani, sekaligus untuk meluruskan cara-cara penulis yang kurang sesuai dengan cara penulisan ilmiah.

1. 4 Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, paper ini terdiri dari 5 bab. Setiap bab disusun sedemikian rupa sehingga berkaitan dengan bab berikutnya. Bab I, memaparkan pendahuluan yang mengulas: latar belakang penulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab I ini merupakan pintu masuk dalam memahami kekhasan moralitas Kristiani.

Dalam bab II, penulis memaparkan tentang moralitas dan Kristianitas. Di dalam bab II ini, penulis mengembangkannya dengan menelusuri: arti moral dan moralitas, disparitas antara etika dan moralitas, kekhasan moralitas Kristiani, moral dan dunia modern. Dalam Bab ini penulis mencoba memperlihatkan diskursus menyangkut kekhasan moralitas Kristiani.

Dalam bab III, penulis menelusuri jejak-jejak hukum moral dan dosa dalam perspektif Kristiani, baik dalam Perjanjian Lama (PL), Perjanjian Baru (PB) yang notabene merupakan landasan moralitas Kristiani maupun dalam tulisan para teolog, terutama pendapat-pendapat Thomas Aquinas. Dalam PL dan PB, kesimpulan terakhir adalah bahwa tindakan moral merupakan ungkapan iman. Oleh karenanya ukuran benar atau salahnya tindakan moral harus dikonfrontasikan dengan kehendak Allah: tindakan moral dianggap salah jika tindakan seseorang bertentangan dengan kehendak Allah. Sebaliknya, tindakan moral dianggap benar jika tindakan seseorang sesuai dengan kehendak Allah dan bukan semata-mata kehendak manusiawinya.

Dalam bab IV, penulis memaparkan prinsip-prinsip moral dasar dan teologi moral Katolik modern. Dalam bab ini penulis melihat bahwa moralitas Kristiani lebih mengusung dimensi moral yang berlaku secara universal. Selain itu, dalam bab ini, penulis mencoba melihat tindakan moral yang bersifat altruistis (tindakan yang mengarah ke luar diri, berkorban demi orang lain) dan juga tindakan moral yang mengarah pada diri sendiri. Yang menarik dalam bab ini adalah penulis menyajikan satu kasus menyangkut problem operasi kembar siam. Dan, yang tidak kalah menarik adalah ternyata tindakan moralitas harus seimbang antara tindakan moral altruistis dengan tindakan moral yang mengarah pada diri sendiri.

Bab V, merupakan bab penutup. Dalam bab ini penulis mencoba memberikan rangkuman singkat dan juga tinjauan serta refleksi kritis tentang kekhasan moralitas Kristiani sehingga bisa berguna dalam menghayati kehidupan yang diharapakan oleh sang Khalik, sang Pencipta alam semesta beserta isinya.


BAB II
MORALITAS DAN KRISTIANITAS


2.1 Arti Moral dan Moralitas

Secara etimologi, kata moral berasal dari kata Latin, moralis merupakan padanan dari kata mos atau moris dan kata mores. Mos atau moris berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku dan kelakuan. Sedangkan mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup. Jadi, moral menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain. Sedangkan moralitas yang sering disebut ethos ialah sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas kebebasannya. Tindakan yang baik secara moral ialah tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai etis objektif dan yang mengafirmasikan hukum moral. Tindakan yang buruk secara moral adalah tindakan yang yang bertentangan dengan nilai etis dan hukum moral.[1]

2.2 . Etika dan Moralitas

Banyak teolog Kristen yang membedakan etika[2] dengan moralitas. Richard C. Sparks mengatakan bahwa di antara para teolog yang berbeda pendapat itu, ada yang mengatakan bahwa etika berhubungan erat dengan teori moral; sedangkan moralitas berhubungan erat dengan praktek moral. Seseorang bisa saja sangat fasih dalam tataran teori moral, namun ia kurang mampu mengaktualisasikannya dalam tindakannya maksud teori moral yang ia pahami itu. Oleh karena itu, Richard mengatakan mengetahui sesuatu tidak selamanya identik dengan melakukan sesuatu: “knowing about something and actually doing it are not always synonymous.” Walaupun demikian, kata Richard, yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa etika dan moralitas saling berkaitan. Maka, Richard berkesimpulan : “morality is the human values, choices, and actions that are studied in a formal way in an ethics class or by someone trained as an ethicist”. [3]

Dari pengertian Richard di atas, moral sangat berhubungan erat dengan pendidikan nilai yang selalu berhadapan dengan aktualisasi, pilihan dan kebebasan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.

2.3 Kekhasan Moralitas Kristiani

Berkaitan dengan pengertian moral di atas, bagaimana dan apa jawaban kita, sebagai orang Kristen jika ditanya oleh non-Kristen atau umat Kristiani sendiri: apakah ada moralitas khas Kristen (Katolik)? Tentu, dengan tegas kita mengatakan bahwa moralitas khas Kristiani itu ada. Moral Kristiani adalah moral iman tanpa syarat, dalam artian tidak menghitung-hitung prestasi (tidak do ut des, tidak resiprokal, tidak mempertimbangkan rugi atau tidak, tanpa pamrih).[4] Oleh karena itu, hidup orang Kristen adalah pengabdian (bdk. Rm 12:1-2; Flp 2:17). Moralitas Kristiani adalah moralitas hidup mengikuti Yesus serta meniru cara-Nya: sequella Christi et imitatio Christi. Sebab, Yesus adalah pemenuh (baca: penggenap) seluruh hukum, bahkan Dialah hukum baru bagi setiap orang yang mau hidup sempurna: Yesus adalah jalan, hidup dan kebenaran (Yoh 14: 6-7). Ajaran dan tindakan Yesus merupakan tindakan Allah sendiri (Yoh 7: 16-17). Dengan kata lain, moralitas khas Kristiani adalah moralitas yang dibangun dengan prinsip imitation Christi et imitation Dei (bdk. Mat 5 : 48 ; Luk 6 : 36). Jadi, kekhasan moral Kristiani terletak dalam perananan iman dan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan memberi insight baru, mempengaruhi intensionalitas, memberi motivasi dan membentuk visi moral kepada seorang Kristen. Kebenaran iman Kristiani mempengaruhi cara pandang seorang Kristiani (Katolik) mengenai siapa dirinya, tujuan hidupnya dan bahkan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam kehidupan moralnya. Iman Kristiani memberi motivasi dalam memenuhi komitmen moral dan mendorong orang untuk hidup secara bijaksana dan dijiwai oleh kasih”.[5] Norma-norma khas Kristiani itu ada sebagaimana yang terlihat melalui tindakan-tindakan orang Kristiani yang notabene merupakan warisan dari Yesus Kristus sendiri. Misalnya, tindakan mencintai dan mengampuni siapapun, logika keseimbangan diganti dengan logika kelimpahan, cinta yang gratuit, oblatif, tanpa pamrih dan tanpa syarat, norma-norma absolut yang menyangkut: pelarangan perzinahan, pelarangan aborsi atau non-conformistis melakukan kejahatan demi mencapai kebaikan. Singkatnya, moralitas Kristiani sangat menekankan disposisi batin dan kesesuaian antara objek tindakan moral, motivasi dengan tujuan serta faktor-faktor situasionalnya.

Starting point dari moralitas Kristini adalah Kitab Suci. Moral Katolik akan sungguh membebaskan jika didasarkan pada Kitab Suci, dan jika bersifat Kristosentris-personalis. Karena dari landasan tersebut, moral dipahami sebagai tangggapan bebas manusia atas cinta dan rahmat Allah yang bisa dialami melalui karya penyelamatan Yesus.[6] Jadi, Yesuslah yang merupakan paradigma baru dalam memahami moralitas Kristiani itu.

2.3.1 Moral Panggilan dalam Pribadi Yesus Kristus

Selain menjadi figur peletak paradigma moralitas Kristiani, Kristus juga menjadi pusat teologi moral Kristiani. Oleh karena itu, tindakan Kristus menjadi asas moral Kristiani. Menurut Konsili Vatikan II, moral Kristiani itu berdasarkan pribadi Kristus, Allah yang menjelma dan datang ke dunia. Panggilan dalam Kristus pertama-tama adalah anugerah dan rahmat; namun pada waktu yang sama merupakan perintah untuk hidup sebagai manusia yang ditebus. Oleh karena itu, mereka yang dipanggil seharusnya hidup sesuai dengan citra Kristus. Dalam panggilan ini, peran Roh Kudus sangat menonjol. Sekarang dan di sini, kita mewujudkan hidup kita sesuai dengan tuntunan Roh Kudus itu. Kristus sendiri membantu manusia untuk mengerti bagaimana Roh-Nya bekerja dalam situasi hidup manusia. Karya Roh Kristus dalam diri manusia mengandaikan iman yang berbuah dalam cinta kasih sebagai kekhasan hidup Kristiani. Yang dikehendaki oleh Roh Kristus adalah penyerahan diri manusia kepada Bapa di surga. Setiap manusia dipanggil untuk mencapai kesempurnaan. Jadi, diharapkan agar citra Kristus hidup terus-menerus dalam diri orang yang dipanggil oleh Yesus Kristus. [7]

Bagi orang Kristen, iman berarti “mengenakan Kristus” dan hidup dalam Kristus, itulah yang diserukan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose: “saudara-saudara sudah menerima Kristus sebagai Tuhan. Sebab itu hendaklah kalian hidup bersatu dengan Dia, dan berakar di dalam Dia. Hendaklah kalian membangun hidupmu dengan Kristus sebagai dasarnya” (bdk. Kol 2: 6-7).

2.3.2 Moral Gerejawi

Sejak Konsili Vatikan II, ruang lingkup moral kontemporer Kristen mencoba memfokuskan pada hidup manusia. Manusia dianggap sebagai subjek yang berkehendak bebas, berakal budi, bersuara hati dan berhati nurani. Seorang teolog modern, Charles E. Curran, dengan mengutip gagasan Richard A. McCormick, secara eksplisit menyebutkan bahwa moralitas Kristiani hendaknya berpusat pada manusia; dan penekanannya pun bukan hanya pada tindakan manusia semata melainkan juga pada being manusia itu sendiri.
The scope of cotemporary moral teology is life centered and emphasizes not just acts or doing of person but the being of person – anthropology and the basic orientations, attitudes, values, and virtues that should characterize the follower of Jesus”.[8]

Gereja adalah umat Allah yang berkumpul untuk memuliakan Allah. Sebagai umat, Gereja telah, selalu, dan akan berhadapan dengan berbagai konflik kehidupan. Dalam menghadapi konflik, ada gagasan khas Kristen (Katolik) yakni pemberlakuan prinsip double effect ketika menghadapi konflik. Gagasan praktis tentang prinsip double effect tersebut dapat kita lihat dalam kutipan di bawah ini:

“The principle of double effect of an action was evolved in Catholic moral theology for the purpose of judging certain situations of conflict in human activity. According to this principle, a certain evil that may be necessary if a essential good has to be attained is justified or at least tolerated under the following four conditions: The first, the action that results in a bad consequence must be good or indifferent in itself; it should not be morally bad. Second, the intention underlying this action must be good; a bad consequence should not be intended. Third, the bad consequence must result as directly as the good effect; otherwise it would be a means of achieving the good effect and in this way intended. Fourth, there must also be a correspondingly serious reason for taking the bad consequence into the bargain.”[9]

Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa moralitas Kristen bukan moralitas yang bertendensi teleologis[10] melainkan deontologis.[11] Dalam prinsip double effect, keputusan moral mesti memperhatikan alasan yang proporsional. Untuk lebih mengerti apa itu teleologi dan deontologi, saya mencoba memberi ilustrasi. Si B mencuri uang dengan alasan untuk membantu adiknya yang sedang sakit. Dan, ternyata bantuan itu sangat bermanfaat bagi adiknya, sehingga adiknya bisa berobat dan sembuh. Menurut etika teleologis, perbuatan semacam ini dapat diterima karena konsekuensinya baik. Tetapi, bagi pengikut etika moral deontologis, tindakan semacam ini tidak bisa dibenarkan, karena secara per se mengandung kejahatan, yakni mencuri. Menurut etika (moral) deontologi, tidak diperkenankan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Dari perspektif di atas, moral yang mesti dimiliki umat Kristiani yang notabene sebagai umat Allah adalah moral yang pro pada kehidupan (pro-life). Singkatnya, moral Kristiani hendaknya bersifat manusiawi dan diterima dalam komunitas Gereja berdasarkan ajaran-ajaran Kristus, yang notabene mencintai dan menjadi pejuang kehidupan. Kehadiran dan pengutusan Yesus Kristus ke dunia merupakan bukti bahwa Allah mencintai kehidupan manusia. Singkatnya, moral Kristiani dikenal sebagai moral Gerejawi, karena kita semua dipanggil sebagai Gereja, yaitu umat Allah. Oleh karena itu, Gereja memelihara pesan moral pewahyuan Kristus yang ditransformasikan dalam Kristus.

Moral Gerejawi mengingatkan bahwa umat Kristen menerima panggilan dan tanggung jawab untuk meneruskan dan mengaktualisasikan misi keselamatan Yesus Kristus di tengah-tengah dunia yang sedang “sakit”. Dengan demikian, kaum beriman Kristiani hendaknya menyadari panggilan mereka dalam Kristus dan mereka menganggap pribadi Kristus sebagai teladan dalam mengaktualisasikan tindakan moral mereka. Mereka juga hendaknya mengikuti dorongan Roh Kristus yang mengundang manusia untuk terus mengusahakan pandangan objektif, pendapat universal, makna gerejawi dalam moralitas Kristiani. Melalui discernment dan peran hati nurani, subjek moral Kristiani tahu membedakan nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai palsu. Jadi, Roh Kudus sangat berperan dalam hidup kaum beriman dan seluruh umat manusia.

2.3.3 Moralitas Kristiani: Diwujudkan dalam Tindakan

Moralitas menjadi benar ketika ia merupakan ungkapan iman; karena tindakan manusia terkait juga bagaimana manusia itu sendiri menghayati imannya. Orang beriman tentu bertindak atas dasar kehendak Allah dan bukan semata-mata kehendak manusiawinya. Upaya manusia untuk menerapkan keputusan asasi dalam hidupnya terjadi berkat dinamisme tindakan keimanan manusia. Jadi, antara iman dan tindakan tidak boleh dipisahkan.[12] Kesalingterkaitan antara iman dan tindakan (perbuatan) mendapat penegasannya dalam Injil Matius 7: 21, “bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Surga melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga”.

2.4 Moral dan Dunia Modern

Moral Kristiani yang dirumuskan dalam Konsili Vatikan II diandaikan sebagai moral yang mengetahui dan mengenal dunia, bukan moral “ghetto”, bukan moral yang tertutup dalam dirinya sendiri.[13] Dengan kata lain, moral Kristiani yang dirumuskan Konsili Vatikan II erat terkait dengan keberadaan manusia di dunia dan perwujudan diri manusia sebagaimana mestinya. Tiap orang Kristen yang hidup di dunia ini seharusnya menyerap makna imanen seluruh ciptaan. Dalam menghadapi dunia modern, orang Kristen harus serius menanggapi pencobaan-pencobaan yang muncul dan yang dapat menggiring manusia ke dalam otonomi egoistik, terutama dalam bidang eksploitasi perekonomian dan aktivitas politik. Dan, untuk lebih menyadari tanggung jawab yang sedemikian mulia itu, orang Kristen diharapkan tak terpisahkan dari ‘‘meditasi’’, mencoba mentransformasi diri dengan kekuatan Ilahi. Maka, lebih jauh Charles E. Curran dengan berpatokan pada pendapat Richard A. McCormick menginterpretasikan bahwa tradisi Kristen (Katolik) memang selalu memberi tekanan pada dimensi meditasi demi menemukan kesejatian hidup sebagai orang Kristen. Gagasan beliau itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini :

‘‘In the light of this emphasis on meditation the Catholic tradition has given great importance to the life and actions of Christians in this world. Because, the Christian and the Church are not called withdraw from the world but to transform it. Life and action in the world have always been emphasized in the Catholic Tradition. The church works with all people of good will to bring about greater justice and peace in the world ”.[14]

Orang Kristiani perlu mengenal dan memahami dunia dan masalahnya. Moral dan perilaku moral Kristiani umumnya berlandaskan pada pribadi Kristus. Penanganan dan pemecahan masalah moral haruslah memperhatikan kenyataan hidup seseorang : perlu mengamati suatu realitas, supaya manusia dapat menemukan pengertian manusiawi dan Kristiani dan keadaban baru. Orang Kristen harus ambil bagian dalam tanggung jawab sosial karena penerimaan tanggung jawab sosial merupakan bagian dari tugas moral di dalam dan bagi dunia. Kekhasan moralitas Kristiani yang lain, dibahas juga dalam bab-bab berikutnya.



BAB III
HUKUM MORAL DAN DOSA
DALAM PERSPEKTIF KRISTIANI


3.1 Hukum Moral Khas Kristiani
3.1.1 Dalam Perjanjian Lama

Sepuluh Perintah Allah (dekalog) merupakan hukum moral khas Perjanjian Lama. Perintah Allah yang dimaksud, yakni: 1) Aku Allah, Tuhanmu, jangan memuja berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan cintailah Aku lebih daripada segala sesuatu; 2) Jangan menyebut nama Allah, Tuhanmu dengan tidak hormat; 3) Kuduskanlah hari Tuhan; 4) Hormatilah ibu-bapamu; 5) Jangan membunuh; 6) Jangan berbuat cabul; 7) Jangan mencuri; 8) Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu manusia; 9) Jangan ingin berbuat cabul; 10) Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil.[15] Dekalog ini kemudian, dirangkum oleh Yesus menjadi Hukum Cinta Kasih. Hukum moral Perjanjian Lama ini memiliki ciri khas, yakni: [16]

Pertama, simbol kedekatan atau keeratan relasi antara Allah dan manusia (buah perjanjian antara Yahweh dan manusia). Ungkapan kedekatan itu adalah ketaatan. Kedua, mengungkapkan pilihan Yahweh atas Israel. Pengalaman bangsa Israel bebas dari perbudakan di tanah Mesir menjadi dasar relasi dan sikap bangsa Israel terhadap sesamanya dan juga terhadap Allah: peristiwa pembebasan itu merupakan tanggapan cinta Allah kepada umat Israel sebagai “umat pilihan-Nya”. Ketiga, menuntut ketaatan manusia untuk mengaplikasikan Sepuluh Perintah Allah itu terhadap diri, sesama dan terlebih dalam menanggapi buah cinta dan anugerah Allah secara bebas. Ke-10 Perintah Allah ini menampilkan unsur yang dekat dengan ‘pusat iman yang hidup’, yakni Yahweh. William Chang menyebutkan tiga tokoh yang mencoba menafsirkan Sepuluh Perintah Allah ini, yakni:

Pertama, menurut Timothy E. O’Connell, perintah “Akulah Tuhan Allahmu” merupakan satu-satunya perintah dalam dekalog, sedangkan perintah lain hanya sebagai akibat dari perintah ini. Dekalog merupakan sarana bagi bangsa Israel (sebagai kelompok) untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai umat Allah; sehingga dekalog menjadi dokumen yang sangat penting bagi bangsa Israel sebagai pernyataan utama hidup mereka sendiri.[17]

Kedua, menurut Karl Heinz Peschke, perintah ke-1 hingga perintah ke-3 mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal); perintah-perintah ini seringkali disebut loh batu pertama dekalog. Sedangkan perintah ke-4 hingga ke-10, mengatur hubungan manusia dengan manusia (hubungan horizontal) yang dimuat dalam loh batu kedua yang notebene mencetuskan kewajiban-kewajiban manusia dalam bentuk mutlak dan imperatif demi mengusahakan bonum commune (kebaikan bersama). [18]

Ketiga, G. Barbaglio mengatakan, dekalog berasal dari kehendak Allah perjanjian dan selalu ada dalam hubungan erat dengan keselamatan bangsa Israel yang dilaksanakan oleh Yahweh di Mesir. Dekalog merupakan sabda yang disampaikan kepada bangsa Israel terkait dengan Yahweh perjanjian. Jadi, menurut Barbaglio, dekalog adalah “perjanjian”. Oleh karena itu, dekalog dipandang sebagai perlindungan atas kenyataan kebersamaan Tuhan dengan bangsa-Nya: saling memiliki antara Yahweh dan bangsa Israel. Bahkan dekalog ini dapat dianggap sebagai jantung moralitas biblis yang mengungkapkan hukum moral kekal dan mengandung tuntutan hidup moral. [19]

Perintah untuk mencintai sesama merupakan satu-satunya kewajiban bangsa Israel yang notabene sama-sama anggota perjanjian dengan Yahweh (Im 19: 17–18). Latar belakang pemahaman ini adalah perasaan solidaritas yang sangat kuat yang berkembang dalam sistem masyarakat patriarkalistis. Karena pada kenyataannya, bangsa Israel berasal dari nenek moyang yang sama, menjadi alasan bagi bangsa Israel untuk melihat orang yang termasuk ke dalam bangsanya sebagai saudara. Atas petunjuk Allah, cinta kasih terhadap sesama ini dipraktekkan terhadap kelompok “orang asing musafir” yang berpindah dan bergabung dengan bangsa Israel (Im 19: 33–34; 24: 22; Ul 10: 18-19). Orang asing musafir ini mendapat hak yang sama seperti bangsa Israel walaupun ada beberapa kekecualian (Im 25: 39–46). Kelompok lain yang mengalami cinta persekutuan ini adalah para budak walaupun hanya hak-hak terbatas (Kel 21: 20. 26-27; 23: 12; Ul 5: 14; 23: 16-17; Ayb 31: 13-14). Jadi, para budak di Israel mengalami perlakuan yang lebih manusiawi daripada budak di beberapa bangsa lain di Timur pada saat itu.
Cinta kasih terhadap sesama harus sama besarnya dengan cinta diri: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Im 19 : 18). Statement imperatif ini kurang lebih sejajar dengan kaidah emas Tobit 4: 15, “apa yang tidak kamu sukai sendiri, janganlah perbuat kepada siapapun”.[20] Pernyataan cinta pertama-tama tergantung pada sikap yang adil dan tulus terhadap sesama: tidak melakukan ketidakadilan kepada sesama ( lihat Za 7:9-10; bdk. Ul 10: 18-19; Sir 35:3-5; Mik 6:6-8). Contoh yang sangat konkrit menyangkut anjuran untuk mencintai sesama terlukis dalam Kitab Tobit: “Dari makananmu sendiri berikanlah kepada yang lapar dan dari pakaianmu sendiri berikanlah kepada yang telanjang. Apa yang berlebih-lebihan padamu berikanlah sebagai sedekah, dan matamu jangan menyesal jika engkau memberi sedekah (Tobit 4:16 dan 1: 16-18)”.

Cinta diri (self-love) dianjurkan dalam nasihat untuk menikmati kebaikan di dunia ini secara bijaksana (Pkh 9:7-9; 11:8-10; Sir 30:21-25): “keriangan hati, kegembiraan jiwa itu ibarat air anggur jika diminum pada waktu yang tepat dengan secukupnya. Sebaliknya, air anggur itu menjadi kepahitan hati jika diminum dengan keterlaluan, dengan pedas hati dan pertikaian (Sir 31:28-29)”. Di sini, manusia dihimbau untuk tidak kikir terhadap dirinya sendiri (Sir 14:4-7), tetapi juga janganlah berfoya-foya dalam kerakusan dan kemewahan (Sir 37: 27-31). Cinta terhadap diri dan cinta terhadap sesama menyatu dalam peringatan untuk membagi kegembiraan kehidupan dengan orang lain (Sir 41:12). [21]

Dari uraian di atas, terlihat bahwa prinsip moralitas yang terdapat dalam Perjanjian Lama adalah sebagai ekspresi ketaatan terhadap Allah. Walaupun demikian, manusia tetap memiliki kebebasan, Allah tidak pernah memberi hukum yang membebankan manusia. Karl Heinz Peschke menegaskan hal ini dengan menulis:

“Inti keputusan moral adalah semangat ketaatan terhadap Allah. Keputusan manusia pada hakikatnya lebih dari sekadar ya atau tidak terhadap aturan yang ditetapkan. Adalah simplifikasi berlebihan dan agak melenceng kalau kita memahami Allah sebagai seorang pemberi hukum yang membebankan manusia dengan sebuah kitab yang penuh aturan dan undang-undang yang harus mutlak ditaati. Dewasa ini, Allah lebih dipahami sebagai seorang perencana yang memberi tugas-tugas yang harus dipenuhi. Tugas yang diberikan Allah itu mempunyai tujuan khusus tetapi detail pelaksanaan tugas itu dipercayakan kepada manusia yang menjalankannya. Manusia harus melaksanakan tugas itu seturut pengetahuan dan keterbukaan, serta sesuai dengan situasi yang selalu berubah dan seturut tuntutan akibat perubahan situasi itu. Allah meletakkan tanggung jawab di pundak manusia dan mengharapkan bahwa manusia melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab”.[22]

Dari kutipan di atas, yang mau ditekankan adalah bahwa keputusan moral menuntut kesiagaan untuk mendengarkan kehendak Allah; dengan seksama dan tekun mengikuti dan menginternalisasikan petunjuk-petunjuk yang datang kepada manusia sesuai kehendak Allah.

3.1.2 Dalam Perjanjian Baru

Dalam Kitab Perjanjian Baru (PB)[23], yang menjadi paradigma moralitas Kristiani adalah Yesus sendiri. Yesus adalah model dan teladan serta sumber inspirasi bagi umat Kristiani untuk bertindak: “…the Christian has, in the person of Jesus, a model and an inspiration for moral endeavour”.[24] Oleh karena itu, yang menjadi paradigma dan tolak ukur pengajaran gereja pun mesti bertitik tolak dari pengajaran yang telah digulirkan oleh Yesus sendiri. Sebab, semua tindakan Yesus selama ia bersama para murid dan umat Allah (orang banyak) di dunia ini, selalu mencerminkan tindakan Bapa-Nya yang telah mengutus-Nya. Pernyataan ini diafirmasi juga oleh Patrick Hannon dengan menulis :

‘‘The paradigm of the church’s preaching is preaching of Jesus: The Kingdom of God is at hand; repent and believe the Gospel….There is a moral dimension: God’s love asks ours, and we do not love Him if we do not love the neighbour. In fact we often fail, so the call to love is a call to repent, to gather ourselves up and begin again. The church is a community fashioned in that faith. It is herald of the reign of God, servant of the gospel of Jesus, sacrament of God’s action in the world, presage of coming glory”. [25]

Oleh karena moralitas Kristiani (dalam PB) selalu menjadikan Yesus sebagai pradigma utama, maka hukum moral Perjanjian Baru umumnya langsung dikaitkan dengan perintah cinta kasih dari Yesus Kristus (Mat 22:34-40; Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28; Yoh 13:34-35): hukum yang pertama dan utama adalah “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwa dan akal budimu”. Sedangkan hukum yang kedua adalah “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Pada kedua hukum ini tergantung seluruh Hukum Taurat dan Kitab para nabi (Mat 22: 40). Dalam pernyataan Yesus ini, semakin jelas bagi kita bahwa Yesus meneruskan ajaran religius (Israel) sebagaimana yang terdapat di dalam dekalog. Yesus membentuk dan membaharui perintah ini sesuai dengan visi-Nya dan dengan demikian Dia memberikan perhatian khusus pada hidup moral.

Agustinus membahasakan ajaran “cinta kasih” ini dengan berkata cintai dan lakukanlah apa yang kau kehendaki: “Amo et fac quod vis”.[26] Perlu diperhatikan bahwa hukum Musa adalah kode eksternal dan tertulis sedangkan Hukum Kristus adalah hukum Roh, hukum yang tertulis dalam batin manusia: “sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan”. Maka, hukum moral Perjanjian Baru dapat dikatakan sebagai perjanjian dalam Roh Kudus yang dicurahkan ke dalam hati manusia (Rom 5:5).[27] Jadi, orang Kristen yang hidup dalam kurun waktu Perjanjian Baru, hendaknya menyadari bahwa hidup orang Kristen pada zaman sekarang seharusnya mengikuti pola moral yang telah digulirkan oleh Kristus.[28] Gagasan ini paralel dengan yang diserukan oleh Konsili Vatikan II: “Tuhan Yesuslah guru dan teladan Ilahi segala kesempurnaan. Maka, untuk memperoleh kesempurnaan itu, kaum beriman harus mengusahakan diri sesuai ukuran rahmat yang dianugerahkan Kristus. Supaya dengan mengikuti jejak-jejak-Nya menjadi serupa dengan citra-Nya sehingga dalam segala hal mentaati kehendak Bapa dan dengan segenap hati dan jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan juga mengabdikan diri demi sesama manusia” (bdk. Lumen Gentium no. 40).[29] Singkatnya, teologi moral Kristiani harus dilandaskan pada pandangan menyeluruh yang terkandung dalam karya penciptaan awal (Kej 1: 26-27) dan penciptaan baru manusia oleh Kristus (Rm 6: 4; 8: 28-30; 1Kor 15: 49; 2Kor 5: 17; Ef 4: 24; Kol 3: 10. [30]

3.1.3 Esensi Hukum Moral Kristiani: Membebaskan

Menurut St. Thomas Aquinas (1225-1274), hukum adalah petunjuk akal untuk kepentingan umum, yang dikeluarkan oleh mereka yang dipercayakan untuk memimpin dan mengatur kehidupan bersama.[31] Hukum, dibuat untuk menjaga kebaikan bersama, every law is shaped to the common good (S. Th. I-II, Q. 90, art. 2: omnis lex ad bonum commune ordinatur). Jadi, hukum bersifat universal. Tetapi jika kita dihadapkan pada suatu pertanyaan: bolehkan kita melanggar hukum positif, atau bolehkah kita berbohong, sementara dalam hukum kodrat dan juga dalam dekalog melarang setiap orang untuk bersaksi dusta? Ada beberapa tesis untuk menjawab pertanyaan ini:

Pertama, hukum positif (hukum manusia) tidak selalu sempurna dalam perumusannya. Walaupun hukum bersifat universal tetapi ada sesuatu tentangnya tidak mungkin membicarakannya dengan benar dalam arti universal.[32]

Kedua, untuk mempraktekkan hukum, kita mesti melihat esensi yang mau diperjuangkan, yakni kehendak Allah. Oleh karena itu, dalam bertindak pun kita mesti melihat sisi masuk akal atau dimensi kecocokan dalam mengambil keputusan moral. Cara berpikir seperti ini, menurut Aristoteles (yang kemudian Albertus Magnus dan Thomas Aquinas mengolahnya menjadi etika Kristiani) disebut kebajikan epikeia. Menurut Thomas Aquinas, Epikeia adalah sebuah kebajikan dan putri kebijakan dan kemurahan.

Singkatnya, epikeia adalah tafsiran atas hukum manusiawi menurut semangat yang melekat pada hukum itu, dalam kasus-kasus batas, yang tidak dapat diatur oleh hukum positif.[33] Inti yang mau disasar dalam kebajikan epikeia adalah bahwa hukum dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Contoh kebajikan epikeia: jika si A dikejar-kejar mau dibunuh oleh si B dan si C tahu ke mana si A itu lari. Ketika si B bertanya ke si C, ke mana si A itu lari, si C jika berbohong (tidak memberitahu) dapat dibenarkan, karena ia berbohong tapi dalam arti positif: melindungi kehidupan. Jadi, epikeia dapat dibenarkan ketika pembuat hukum tidak mampu mengantisipasi semua situasi dan merangkumnya dalam suatu rumusan hukum umum. Walaupun demikian yang ditekankan dalam epikeia adalah semangat untuk bijak membuat discernment.

Ketiga, hukum moral Kristiani adalah hukum moral yang membebaskan. Hal ini didasarkan pada hukum moral yang digulirkan Yesus sendiri: hukum bukan untuk membelenggu manusia. Tesis terakhir ini sejalan dengan tesis satu dan tesis dua di atas tadi. Dalam pertanyaan di atas, kita harus menerapkan sikap epikeia. Menurut Peschke, Yesus sendiri mempraktekkan dan mengajarkan kebajikan epikeia. Kebajikan epikeia Yesus terasa dalam perkataan-Nya: hari Sabat ada untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mrk. 27). Yesus “melanggar” hukum positif karena ada nilai yang diperjuangkan-Nya yakni kehidupan. Kebajikan epikeia Yesus yang lain dapat dilihat seperti dalam Mat 12: 1-1-8; Mrk 2: 15-17; Luk 15: 1-2.

3.2. Hukum Kodrat [34]

Gagasan yang fantastis dan yang sangat fundamental menyangkut arti dan penjelasan hukum kodrat adalah gagasan teolog Kristen (Katolik) tersohor, St. Thomas Aquinas. Menurutnya, hukum kodrat adalah hukum kekal (lex aeterna) yang berdimensi eternal reason, yang secara kodrati dianugerahkan Allah kepada segala sesuatu (jadi bukan hanya kepada manusia). Titik tolak hukum kodrat adalah kodrat manusia dan tujuan akhirnya, yang tidak diciptakan dan tidak ditetapkan oleh manusia tetapi berasal dari Allah sendiri. Hukum kodrat identik dengan kehendak Allah. Thomas Aquinas menulis demikian : ‘‘the natural law is participation in eternal reason” (S.Th. Ia2ae., Q. 91, art. 2). Oleh karena itu, semua aktivitas yang tendensinya selalu tepat sesuai dengan kodrat yang dianugerahkan Allah, misalnya, hukum kodrat api adalah panas, secara rasional tidak melanggar hukum kodrat : ‘‘Inclinatur autem unumquodque naturaliter ad operationem sibi convenientem secundum suam formam, sicut ignis ad calefaciendum” (S.Th, Ia2ae, Q. 94. art. 3, p. 84 : all things have a natural tendency towards activity befitting their natures, like fire to heating).

Dalam aktivitas intercourse (persetubuhan), anatomi genital laki-laki secara hukum kodrati berfungsi untuk bersetubuh dengan istrinya. Demikian sebaliknya, anatomi genital perempuan secara hukum kodrati berfungsi untuk melakukan persetubuhan dengan suaminya (bdk. S.Th. Ia2ae, Q. 94. art. 3, p. 84-85). Oleh karena itu, seseorang yang melakukan aktivitas seksual terhadap sesama jenis (seperti homo-seksual, lesbian) dan terhadap binatang (bestialitas) serta terhadap mayat (menyetubuhi mayat), ia telah melanggar hukum kodrat karena tindakannya itu contra naturam atau unnatural. Bahkan, menurut Thomas Aquinas, orang yang bertindak secara contra naturam dianggap tidak memiliki keutamaan (virtue); oleh karenanya, tindakan yang contra naturam termasuk kategori dosa. Pendapat Thomas Aquinas ini sampai sekarang masih dipegang teguh oleh gereja Katolik Roma: tidak pernah mengesahkan perkawinan sesama jenis.

Selain itu, Thomas Aquinas memberi pendasaran pada hukum kodrat sebagai constitutum rationae. Thomas Aquinas menulis demikian : ’’Dictum est enim supra, quod lex naturalis est aliquid per rationem constitutum, sicut etiam propositio est quoddam opus rationis” (S.Th., Ia2ae, Q. 94. art. 2, p. 76: The essentially of natural law is something constited by the reason, after the fashion that a propositiuon is a piece of work done by the reason). Menurut Thomas Aquinas, hukum kodrat merupakan wujud partisipasi makhluk rasional dengan akal budi Ilahi. “Ad primum ergo dicendum quod promulgatio legis naturae est ex hoc ipso quod Deus eam mentius hominum inseruit naturaliter cognoscendam” (S.Th., Ia2ae, Q. 90, art. 4. p. 16: Natural law is promulgated by God’s so instilling it into men’s minds that they can know it because of what they really are). Tujuan terakhir dari suatu tindakan adalah untuk mencapai kebaikan, keutamaan sebagaimana Allah menghendaki dan menganugerahkannya kepada manusia. J. A. Selling dengan mengutip pendapat Franz Böckle, menegaskan pernyataan di atas: “The substantiation of the natural (moral) law by participation in divine reason an the substantiation of the indispensable content of a naturally order”.[35]

Konsekuensi dari pemahamannya bahwa yang baik erat terkait dengan pratical reason, Thomas Aquinas membangun pandangannya bahwa prinsip dasar dari hukum kodrat adalah melakukan yang baik dan mempromosikannya sedangkan yang jahat harus dhindari: “bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum’”.[36] Dari prinsip dasar inilah semua prinsip-prinsip moral yang lain diturunkan.

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa Thomas Aquinas sangat menaruh perhatiannya pada masalah-masalah aktual dan kontekstual. Thomas selalu mendukung prinsip pro-life daripada prinsip pro-choice. Oleh karenanya, aborsi, euthanasia dan berbagai kejahatan yang bertentangan dengan prinsip bonum faciendum, ia tolak. Harus diakui bahwa pendapat-pendapat Thomas Aquinas ini memang sangat filosofis dan teologis, tetapi sekaligus sangat praktis; sehingga teologi moral yang dibangun Thomas Aquinas tidak hanya sebatas asumsi atau a priori belaka. Gagasannya ini sangat relevan dalam membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan alam beserta isinya serta antara manusia dengan Allah.
Menurut Timothy E. Connell, hukum kodrat Thomas Aquinas di atas, identik dengan hukum yang disampaikan oleh Yesus: hukum cinta kasih; karena penekanan yang terdapat dalam hukum ini adalah melakukan yang baik, memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, hukum kodrat dari Thomas Aquinas sejalan dengan prinsip moral Kristianitas.[37]

3. 3 Dosa dalam Perspektif Kristiani: Dosa dalam Kitab Suci

Kitab Suci selalu melihat dosa dalam konteks hubungan manusia dengan Allah. Menurut Kitab Suci, ciri terdalam dosa adalah penolakan untuk melaksanakan kehendak Allah; manusia hanya mengikuti dan mengandalkan kehendak manusiawinya.[38] Oleh karena itu, dosa adalah penghinaan terhadap Allah dan ketidak-setiaan terhadap-Nya. Ada beberapa istilah dosa.

Pertama, hatá.[39] Kata ini berarti menyimpang dari tujuan dan menyimpang dari jalan yang sudah dikenal; sehingga dosa adalah pelanggaran terhadap aturan. Orang yang melakukan dosa adalah orang yang tidak setia terhadap perintah Allah (Im 26:14-38; Ul 11:26-28; 28:15 dst). Hatá merupakan istilah yang kerap dipakai dalam Perjanjian Lama (PL) yang notabene sering melihat dosa sebagai pelanggaran atas hukum dan kehendak Allah: dosa dilihat sebagai sikap melupakan perjanjian dengan Allah, dan berpaling dari-Nya dan sikap tidak tahu bersyukur. Adam dan Hawa adalah contoh pertama yang melanggar secara sadar petunjuk Allah: dalam batin, mereka merindukan untuk memiliki dan menjadi lebih dari apa yang telah dipercayakan kepada mereka oleh Allah; sehingga terjadi perpecahan antara Allah dan manusia (Adam-Hawa). Perpecahan ini menjadi sumber kejahatan dan dosa bagi manusia (bdk. Kej 3; Yes 59:2). Selain itu, dalam PL, pendosa adalah seorang yang menjadi musuh Allah dan membenci-Nya (Kel 20:5; Ul 5:9; Mzm 139:21).

Kedua, hamartia.[40] Kata ini berarti tidak kena, melenceng dari sasaran. Istilah ini sering dipakai dalam Perjanjian Baru. Konsep tentang hamartia dapat kita lihat dalam Perjanjian Baru, misalnya: pertama, dalam perumpamaan tentang anak yang hilang: dosa dilihat sebagai sikap meninggalkan Tuhan tanpa tahu bersyukur. Dosa digambarkan sebagai kehilangan makna eksistensi dan perpisahan dari Allah. Kedua, dalam Luk 7:47; 1Yoh 4: 7-8. 20-21: dosa dilukiskan sebagai lawan dan pelanggaran terhadap cinta. Ketiga, di dalam Injil Yohanes dan Surat Paulus, dosa dilihat sebagai penolakan terang (Yoh 3: 19-20; Ef 5: 8-14), dan penolakan terhadap kebenaran (Yoh 8: 44; Rm 1: 18 dan 25). Oleh karena itu, dosa dilihat sebagai kegelapan, kebohongan dan ketidaksetiaan terhadap Allah (Rm 11: 30-32; Ef 5:6). Lebih jauh, Peschke melihat bahwa Surat-surat Paulus menggunakan kata hamartia dalam bentuk singular: dosa dipahami sebagai situasi menyeluruh dari keberadaan manusia (Rm 6:1), atau sebagai kekuasaan demonis yang menguasai dan menawan manusia (Rm 3: 9; 5: 12; 6: 16-23; 7: 8-9).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus memperdalam konsep dosa: hati adalah tempat munculnya kejahatan. Oleh karena itu, Yesus menuntut pembersihan batin dan bukan hanya pembersihan bejana (Mrk 7:1-23; Mat 23:25-26). Yang menarik dalam PB adalah bahwa konsep tentang dosa selalu disertai pemikiran tentang pengampunan. Hal itu terjadi karena misi perutusan Yesus ke dunia adalah untuk menyelamatkan manusia, dan menawarkan pengampunan Ilahi dan menjadikan manusia anak-anak Kerajaan Allah. Yesus adalah penyelamat kaum pendosa (bdk. Mat 9: 13; Luk 15; 19:10). Bahkan Ia adalah anak domba yang menghapus dosa dunia (Yoh 1: 29).

Terminologi dosa yang terkandung dalam Kitab Suci, seperti yang telah diuraikan di atas, paralel dengan apa yang diserukan Thomas Aquinas. Ada beberapa pandangan Thomas Aquinas tentang dosa, antara lain: Pertama, awal dari segala dosa adalah kesombongan manusia dan awal dari kesombongan manusia adalah tindakan meninggalkan Allah: “Initium omnis peccati est superbia, et initium superbiae hominis est apostatare a Deo (the beginning of all sin is pride and the beginning of the pride of man is to fall off God).[41] Kedua, dosa adalah kecenderungan yang tidak menetap dalam memberikan pilihan terhadap hal-hal yang baik dalam situasi dan hal-hal yang berubah-ubah (mudah tergoda, sifat mudah terombang-ambing). Thomas menulis demikian: “…quod significat inordinatum appetitum cujuscumque boni temporalis, et sic est genus omnis peccati: nam in omni peccato est inordinate conversion ad commutabile bonum”.[42] Ketiga, dosa adalah semua tindakan yang contra naturam. [43]


BAB IV
PRINSIP-PRINSIP MORAL DASAR DAN TEOLOGI MORAL KATOLIK MODERN


4.1 Tiga Prinsip Moral Dasar[44]

Konsep tentang tiga prinsip moral dasar ini merupakan salah satu cara untuk meluruskan dan menyempurnakan konsep moral utilitarisme yang hanya menekankan bahwa manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan akibat-akibat baik yang sebesar-besarnya terhadap akibat-akibat buruk dari suatu tindakan. Dengan kata lain, menurut konsep utilitarisme tindakan yang benar adalah tindakan yang paling memajukan kepentingan semua orang. Ketiga prinsip dasar yang dimaksud, yakni:

Pertama, prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari 2 prinsip moral lain (prinsip keadilan, dan prinsip hormat pada diri sendiri). Tidak ada gunanya bersikap baik jika tidak disertai sikap adil dan sikap jujur sekaligus sikap hormat pada diri sendiri. Bersikap baik berarti memandang (si)apa tidak hanya sejauh berguna bagi saya melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan dan menunjang perkembangannya, mendukung kehidupan dan mencegah kematiannya demi ‘‘(si) apa ’’ itu sendiri.

Kedua, prinsip keadilan. Sikap adil tidak sama dengan sikap baik. Walaupun maksud kita baik, kita tidak boleh mencuri hanya untuk memenuhi niat sikap baik itu; karena mencuri melanggar prinsip keadilan. Adil pada hakikatnya berarti kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Singkatnya, prinsip keadilan menuntut agar kita jangan hanya mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang baik, dengan melanggar hak seseorang. Celsus menggambarkan keadilan dengan istilah teknis: tribuere cuique suum (to give everybody his own), yang berarti memberikan kepada setiap orang apa yang sepatutnya ia butuhkan, menjadi haknya.[45]

Ketiga, prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak yang memiliki kebebasan dan suara hati, serta makhluk berakal budi. Manusia tidak boleh dijadikan hanya sebagai sarana demi suatu tujuan tertentu. Manusia harus dipandang sebagai makhluk yang memiliki tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri. Singkatnya, yang mau ditekankan oleh prinsip ini adalah bahwa antara sikap altruistis harus diseimbangkan dengan sikap hormat pada diri sendiri. Melayani orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri dapat menunjuk pada ego yang lemah: ada tendensi kurang percaya diri, berlebihan membutuhkan pengakuan dari orang lain. Jadi, kita jangan cepat-cepat berteriak, egois, jika seseorang memperhatikan dirinya sendiri. Karena kita tidak dapat mencintai orang lain jika kita tidak mencintai diri kita sendiri.[46]

4.2 Moral Katolik Modern: Tetap Biblis [47]

Teologi moral Katolik modern berlandaskan Kitab Suci dan setia pada tradisi teologis asli. Moral kasuistik dan legalistik ditinggalkan. Bahkan menurut Charles E. Curran, teologi moral Katolik modern mengandung keterkaitan antara dua pasang unsur hakiki. Pertama, Kitab Suci dan tradisi; iman – akal budi – perbuatan. Kedua, rahmat dan kodrat manusia; iman dan karya-karya manusia.

Ensiklik Divino Afflante Spiritu dari Paus Pius XII tahun 1943, telah membuka pintu bagi para ekseget untuk menerapkan metode kritis dalam memahami Kitab Suci. Kemudian, Konsili Vatikan II meneruskan pendekatan yang telah digagas oleh Pius XII ini sekaligus meneguhkan peran utama Kitab Suci dalam seluruh teologi (hal ini ditekankan dalam Optatam Totius 16). Kitab Suci dianggap sebagai “jiwa teologi”, locus theologicus. Jadi, Kitab Suci merupakan jaminan yang lebih pasti mengenai keaslian hidup moral Kristiani, sekaligus sebagai kekhasan moral Kristiani. Vidal menganggap Kitab Suci sebagai “ilham” yang menghidupkan dan “tenaga” dinamis untuk mengadakan refleksi teologi moral. Kitab Suci tidak boleh digunakan sebagai sarana pembenaran diri, tetapi hendaklah digunakan sebagai sumber acuan utama dengan cara mengaitkan kenyataan hidup manusia dengan Kitab Suci dalam cara yang baru. Moral Kristiani memperoleh identitasnya justru dari pribadi Yesus Kristus dan Kitab Suci. Moral Kristiani seharusnya lebih memperhatikan Kitab Suci, jika terpaut dengan aneka macam masalah moral. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan apa saja yang telah diperbaharui dalam tradisi iman yang diwariskan turun-temurun.[48]

Tema pokok moral dalam Perjanjian Lama menitik-beratkan pentingnya hukum sebagai tulang punggung moral. Sepuluh Perintah Allah dalam dekalog memegang peran sebagai “kunci”. Sedangkan moral Perjanjian Baru menjadi kriteria normatif hidup kaum beriman. Menurut Vidal,[49] kategori moral fundamental meliputi: Pertama, moral perjanjian: tercermin dari dimensi “dialog” antara Tuhan dengan manusia. Kedua, moral indikatif (yang menunjukkan tindakan yang seharusnya ditempuh dan bukan moral imperatif yang hanya memerintahkan seorang untuk melakukan sesuatu): terdiri dari peristiwa pemberian diri Allah kepada manusia melalui diri Yesus Kristus. Ketiga, moral Roh Ilahi: menjadi prinsip hidup moral manusia. Keempat, moral mengikuti Yesus Kristus: baik moral perjanjian, indikatif maupun moral Roh Ilahi diwujudkan dalam tindakan mengikuti Yesus Kristus. Perintah cinta kasih dianggap sebagai hakikat moral Kristiani. Bahkan menurut F. Furger, prinsip “cinta kasih” merupakan kekhasan moral Kristiani sejak awal.[50]

4.3 Moralitas Kristiani: Bersifat Deontologis; Tidak Bersifat Utilitaristis

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), manusia telah banyak menemukan inovasi dan terobosan baru dalam mempertahankan dan menyelamatkan kehidupan manusia. Namun, tak jarang juga perkembangan IPTEK (dan revolusi kultural) menjadi tidak bebas nilai ketika merasuk ke wilayah praktis, karena harus berhadapan dengan dimensi kehidupan moral. Dalam dunia medis, misalnya telah ditemukan bagaimana menyelematkan bayi yang lahir kembar siam. Di tengah fenomena perkembangan IPTEK, bagaimana jawaban kita sebagai orang Kristiani jika dihadapkan pada suatu pertanyaan: ajaran moral khas Kristiani itu apa dan bagaimana umat Kristiani mengaktualisasikannya dalam hidup keseharian mereka? terutama jika menghadapi kasus yang seolah buah simalakama. Misalnya, jika ada bayi yang kembar siam. Menurut prediksi dokter, jika bayi kembar siam itu tidak dipisahkan, kedua-duanya akan meninggal; tetapi jika dipisahkan salah seorang akan meninggal, lalu jika umat Kristiani diminta pendapatnya kira-kira bagaimana umat Kristen bertindak dalam situasi seperti ini?

Dalam memecahkan kasus kembar siam di atas, boleh dijawab dengan tesis Uskup Agung Cormac Murphy - O’Connor dari Westminster (London) ketika menghadapi kasus kembar siam, Mary dan Jodie di Inggris, pada 7 November 2000. Menurut hasil pemeriksaan para dokter di Rumah Sakit St. Mary’s, Inggris, jantung dan paru-paru Mary tidak berfungsi, dan otaknya pun tidak berkembang penuh. Jodie tampak dalam keadaan fisik yang normal tapi jantung dan paru-parunya mendapat beban berat karena harus menyediakan oksigen untuk Mary. Oleh karena itu, menurut para dokter jika Mary dan Jodie dibiarkan lebih lama (karena hanya bisa bertahan selama 6 bulan), kedua-duanya akan meninggal dunia. Orangtua kedua bayi ini adalah pemeluk agama Katolik sejati dan mereka tidak mau kalau kedua bayi mereka itu dipasahkan. Karena ada perbedaan pendapat antara orangtua (tidak mau memisahkan bayi mereka) dengan pihak rumah sakit (yang menganjurkan untuk memisahkan bayi itu), kasus ini pun dibawa ke pengadilan. Tetapi para hakim itu meminta pendapat tokoh masyarakat, di antaranya adalah Uskup Murphy. Sebagai pemimpin umat Katolik Inggris, Murphy menyampaikan lima prinsip fundamental untuk memecahkan kasus ini.[51]

Pertama, kehidupan manusia adalah inviolable, tidak boleh diganggu gugat. Dengan kata lain, manusia tidak pernah boleh dengan sengaja mengakibatkan kematian orang yang tidak bersalah, entah dengan perbuatan positif atau dengan kelalaian (negatif). Yang dimaksud dengan kelalaian (omission) ialah tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Jika prinsip ini diterapkan pada kasus kembar siam (Mary-Jodie), kita harus menyimpulkan bahwa kembar siam ini tidak boleh dipisahkan. Sebab, dengan melakukan pemisahan, kita membunuh Mary. Namun, prinsip ini mengizinkan kesimpulan lain: jika tidak melakukan pemisahan, mau tidak mau juga membunuh Jodie (yang seharusnya bisa hidup). Perbuatan itu bisa dinilai sebagai kelalaian, karena nyawa Jodie sebenarnya bisa diselamatkan.

Kedua, integrasi tubuh seseorang tidak boleh dihilangkan, jika konsekuensinya tidak membawa manfaat untuk orang tersebut dan khususnya jika konsekuensinya adalah kematian yang tak terelakkan. Mengamputasi anggota tubuh untuk menyelamatkan nyawa seseorang tentu boleh. Jika diterapkan pada kasus Mary-Jodie, perlu disimpulkan bahwa operasi pemisahan tidak boleh dilakukan, karena akan mengakibatkan kematian Mary. Tetapi yang perlu dilihat adalah tubuh Mary maupun Jodie tidak utuh. Operasi dilakukan justru untuk berusaha sedapat mungkin memulihkan integritas tubuh, sekurang-kurangnya untuk Jodie.

Ketiga, kewajiban untuk mempertahankan kehidupan seseorang tidak berlaku lagi, bila pelaksanaannya akan membawa ketidak-adilan besar bagi orang lain. Tujuan yang baik tidak berarti menghalalkan sarana yang buruk. Orang yang tidak bersalah tidak pernah boleh dibunuh, walaupun hal itu dilakukan untuk menyelamatkan orang lain.

Keempat, tidak ada kewajiban moral bagi para dokter untuk menyelamatkan nyawa Jodie melalui operasi atau bagi orangtua untuk menyetujui operasi itu, jika tindakan terapeutik tersebut akan menambah beban luar biasa pada Jodie dan para pengasuhnya; dan menurut prediksi para dokter hal ini yang akan terjadi pada Jodie. Kalau Jodie akan bertahan hidup sesudah operasi pemisahan, ia harus mengalami banyak operasi lagi untuk membenahi kondisi fisiknya dan hasilnya sulit diramalkan. Seandainya Jodie dapat hidup sesudah dipisahkan, Jodie tentu mengalami penderitaan besar dan orangtuanya juga pasti mengeluarkan banyak biaya dan terserang beban mental.

Kelima, yang mempunyai hak untuk mengambil keputusan tentang tindakan medis bagi anaknya adalah orangtua. Hak orangtua itu hanya boleh dikalahkan oleh pengadilan, jika keputusan mereka terbukti bertentangan dengan kepentingan terbaik anaknya. Dalam kasus Mary-Jodie, hal itu tidak terjadi, karena orangtua mengambil keputusan yang sesuai hati nurani dan cinta mereka untuk kedua anaknya.

Dipandang dari sudut moral atau etika, kasus Mary-Jodie ini rupanya tidak dapat dihindarkan benturan antara dua kewajiban. Di satu pihak, kewajiban positif dilakukan untuk melindungi kehidupan. Menurut kewajiban ini, nyawa Jodie harus diselamatkan dan satu-satunya jalan menuju tujuan itu adalah operasi pemisahan. Di lain pihak, kewajiban negatif dilakukan untuk tidak menghilangkan nyawa dari orang yang tidak bersalah. Menurut kewajiban ini, operasi pemisahan tidak boleh dilakukan karena secara langsung akan membunuh Mary. Jika demikian kewajiban mana yang harus disetujui atau mana yang harus diterapkan? Uskup Agung Westminster berpendapat bahwa kewajiban kedua harus dimenangkan, sedangkan para hakim berpendapat bahwa justru kewajiban pertama yang pantas dimenangkan.

Dalam selisih pendapat ini ada pertentangan antara utilitarisme dan deontologi. Menurut utilitarisme, dalam suatu keputusan moral manfaat selalu harus diutamakan: yang baik secara moral adalah apa yang membawa manfaat terbesar untuk paling banyak orang. Maka, menurut kaca mata utilitarisme, Jodie harus diselamatkan. Sedangkan menurut aliran deontologi, orang yang tidak bersalah tidak boleh dikorbankan demi tercapainya tujuan apapun, termasuk penyelamatan orang lain. Prinsip kedua di atas tadi, dengan jelas dilatarbelakangi pandangan deontologis ini. Menurut Murphy, dalam pendekatan agama (Kristiani) yang lebih akrab adalah pandangan deontologis; sedangkan profesi medis lebih cenderung utilitaristis. Walaupun demikian, dalam kasus ini, kita bukan menyetujui kematian Mary (jika dilakukan pemisahan), melainkan menolerirnya untuk menyelamatkan Jodie. [52]


BAB V
P E N U T U P


Setelah menelusuri jejak-jejak kekhasan moralitas Kristiani secara teologis, dalam bab penutup ini saya mencoba memberikan kesimpulan.

Pertama, paradigma utama moralitas Kristiani adalah paradigma Yesus sendiri. Tindakan Yesus merupakan manifestasi dan sakramen dari tindakan Bapa yang telah mengutus-Nya. Jadi, moralitas Kristiani bersifat Kristosentris, berpusat pada Kristus: “...the ultimate goal of Christian existence is union with God in and with and through Jesus Christ.”[53] Singkatnya, moralitas Kristiani adalah manifestasi dari hukum cinta kasih: mencintai tanpa syarat sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Yesus hingga bersedia menderita dan wafat di kayu salib, demi membuktikan bahwa tujuan terakhir hukum moral adalah untuk mencapai bonum commune (common good) dan kebaikan ultim yakni melakukan kehendak Allah. Uraian di atas dapat kita lihat dalam kutipan ini: “Christ is the sacrament of the encounter with God. He is the revelation of God to mankind, and He is the way, truth and life. Christ lived the completely human life, that is His life was the genuinely human existence which points to a way of life meaningful to every man.”[54] Jadi , pantaslah jika Yesus dijuluki sebagai guru etika, guru moral bagi umat Kristen.

Selain itu, Yesus menyempurnakan paradigma Perjanjian Lama tentang hukum moral yang berdimensi logika keseimbangan menjadi hukum moral yang berdimensi logika kelimpahan. Hukum moral keseimbangan: gigi ganti gigi, mata ganti mata, Yesus menyempurnakannya menjadi logika kelimpahan: jika pipi kirimu ditampar berikanlah pipi kananmu (bdk. Mat 5: 38-40; Luk 6: 27-36); ampunilah sesamamu tujuh puluh kali tujuh kali (lih. Mat 18: 22). Artinya, memberi maaf terhadap orang lain tanpa syarat.

Kedua, moralitas Kristiani merupakan ungkapan iman: melakukan sesuatu atas dasar cinta dan kehendak Allah.

Ketiga, perwujudan moralitas Kristiani tidak terlepas dari kesadaran dan juga pilihan. Seseorang melakukan sesuatu atas dasar pilihan, karena pilihan merupakan manifestasi dari human being dan kebebasan seseorang. Patrick Hannon mengatakan bahwa kesadaran dan pilihan adalah karateristik dari human being yang notabene merupakan fondasi moralitas : ”These two characteristics of human being, awareness and capacity for choice, are the foundation of morality. For awareness tell us something about the way the world is, and our capacity for choice allows us to decide how we are going to conduct ourselves in it”.[55] Pusat kesadaran manusia adalah hati (kardia, cor, léb, heart); maka kesadaran yang positif adalah kesadaran yang disertai discernment, usaha mendengar suara Allah dan suara hati.[56]

Keempat, moralitas Kristiani berdimensi biblis; sehingga Kitab Suci pada akhirnya adalah locus theologicus, sumber dari segala penafsiran teologi dan pengajaran teologi moral.[57]

Kelima, seorang Kristen layak disebut sebagai subjek moral, actus moralis, jika tindakan dan moralitas yang ia miliki dan diaktualisasaikan sungguh suatu ungkapan iman. Dimensi yang selalu dituntut dari sikap umat Kristen adalah sikap yang sejalan dengan kehendak Allah. Sikap do ut des harus dihindarkan, karena jika demikian, kita tidak pernah menginternalisasikan hukum cinta kasih. Orang Kristiani hendaknya menjadi garam dan terang dunia, menjadi seperti obor yang menerangi sekitarnya, seperti seruan Konsili Vatikan II.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 672. Lihat juga Clarence L. Barnhart & Robert K. Barnhart (Editor), The World Book Dictionary, Vol. 2 (Chicago: Doubeday & Company, Inc., 1983), hlm. 1349-1350. Bdk. The Encyclopedia Americana, International Edition, Volume 19 (New York: Americana Corporation, 1975), hlm. 438: “the moralities used allegorical figures personifying abstract qualities of vice and virtue, such as charity, wisdom, sobriety, folly, and bad habits, and generalized types such as mankind, king, and bishop”. Jadi, moralitas berkaitan erat dengan kualitas dari sikap buruk dan juga keutamaan: kemurahan hati atau derma, kebijaksanaan, ketenangan hati, ketololan, dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya, serta tipe-tipe umum manusia, raja dan pemimipin gereja seperti uskup. Lihat juga Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 10 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm. 371

[2] Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 217. Etimologis kata etika berasal dari kata Yuanani yakni ethikos, ethos yang berarti adat, kebiasaan dan praktek. Sehingga dengan defenisi ini, seringkali etika disamakan saja dengan defenisi moral yang juga diartikan sebabagi adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku/ kelakuan.

[3] Lihat Richard C. Sparks, Contemporary Christian Morality: Real Questions Candid Responses (New York: The Crossroad Publishing Company, 1996), hlm. 2

[4] Bandingkan Bernhard Kieser, Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 41

[5] Diintisarikan dari diktat Perkuliahan Moral Dasar (2005) dari Pastor Tarpin, OSC, Arah Baru dalam Moral Katolik: Legalistik atau Personalistik?, hlm. 14

[6] Lihat William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 30

[7] William Chang, Ibid., hlm. 28-34. Uraian mengenai moral panggilan dalam pribadi Kristus dan moral dan Gereja, penulis sadur secara bebas dari halaman tersebut dengan melakukan “penyederhanaan” kalimat dan bahasa.

[8] Lihat Charles E. Curran, The Living Tradition of Catholic Moral Theology (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 1992), hlm. 84

[9] Lihat, Franz Böckle, Fundamental Moral Theology (United States of America: Gill and Macmillan Ltd., 1980), hlm., 240. Bdk. J. A. Selling, Personalist Morals (Belgia: Leuven University Press, 1998), hlm. 73-84. Prinsip double effect dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (tetapi bukan secara harfiah): Pertama, tindakan yang dilakukan pada prinsipnya adalah baik atau indiferen. Kedua, maksud agen moral adalah mencapai efek baik, sedangkan efek buruk ditolerir. Ketiga, efek buruk bukanlah cara untuk mencapai efek baik. Keempat, ada proporsi yang adekuat dan koresponden antara efek baik dan efek buruk.

[10] Lihat Lorens Bagus, Op.Cit., hlm. 1085-1087. Di dalam kamus ini, Lorens Bagus menjelaskan: teleologi berasal dari dua padanan kata Yunani, telos (tujuan, akhir) dan logos (wacana atau doktrin). Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Christian Wolff pada abad ke-18. Dalam etika teleologis dikatakan bahwa baik-buruknya suatu tindakan ditentukan oleh suatu tujuan tertentu. Karena itu, norma etis atau etika teleologis adalah konsep yang relatif terhadap tujuan. Perelativitasan suatu tindakan bukan ciri khas moralitas atau etika Kristiani.

[11] Ibid., hlm. 157-158. Deontologi berasal dari kata Yunani, Deon yang berarti keharusan atau kewajiban. Jadi, secara harfiah deontologi berarti teori tentang kewajiban. Istilah etika deontologis menunjukkan sistem-sistem suatu tindakan yang sebenarnya tidak ditentukan berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya.

[12] Lihat William Chang, Op. Cit., hlm. 32-34

[13] Ibid. hlm. 33-34

[14] Charles E. Curran, Op. Cit., hlm. 91

[15] Lihat KWI, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius berkerja sama dengan Penerbit Obor, 1996), hlm. 28. Himpunan hukum-hukum moral itu dapat ditemukan dalam Kitab Keluaran 20; sedangkan hukum moral yang lain (misalnya tentang perbudakan) dapat juga ditemukan dalam seluruh Kitab Ulangan, Kitab Imamat 17-26; 1-17; 11-15, dan dalam Kitab Bilangan 28-29.

[16] William Chang, Op. Cit., hlm. 104. Lihat juga J. A. Selling (Editor), Personal Morals, Op. Cit., hlm. 35. Di halaman itu, Selling mengutip pendapat Jack Mahoney: Sepuluh Perintah Allah ini adalah“morality from the outside”, yang mengatur tata keberimanan manusia terhadap Allah dan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Pendapat Jack Mahoney kemudian disitir oleh J. A Selling dengan menulis demikian: “Morality from the outside can be seen to characterize the various morals commands, injunctions, and prohibitions with which moral agents find themselves confronted in the course of their lives, whether in the bible, as in the Ten Commandments….”

[17] Pendapat Timothy ini dikutip dari uraian William Chang, Loc. Cit., hlm. 104

[18] Idem., hlm. 105. Kata bonum commune adalah kata yang saya tambahkan, sebagai apresiasi dari pendapat Karl Heinz Peschke.

[19] Idem., hlm. 106. Uraian berikutnya, saya sadur dari halaman ini juga.

[20] Kaidah Emas Tobit 4: 15 ini, dalam Perjanjian Baru juga ada yaitu Kaidah Emas Matius 7: 12 “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Hanya saja, Kaidah emas Tobit bernada imperatif negatif sedangkan Kaidah Emas Matius bernada imperatif positif.

[21] Lihat Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani, Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 2- 4

[22] Lihat Karl Heinz Peschke, Etika Kristiani, Jilid I: Pendasaran Teologi Moral (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 19

[23] William Chang, Op. Cit., hlm. 107

[24] Lihat Patrich Hannon, Church, State, Morality and Law (Irlandia: Gill and Macmillan Ltd., 1992), hlm. 40

[25] Ibid., hlm. 85

[26] Lihat Russel M. Abata, Is Love In and Sin Out?: A Look at Basic Morality; disadur secara bebas oleh staf Yayasan Cipta Loka Caraka, Berdosa Demi Cinta?: Beberapa Masalah Dasar Sekitar Suara Hati (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1996), hlm. 56 dan 64. Maksud perkataan St. Agustinus ini adalah cinta yang matang orang dewasa akan menuntun orang memilih hanya yang baik dan benar-benar berguna sesuai kehendak Allah.

[27] Lihat William Chang, Op. Cit., hlm. 107

[28] Bernhard Kieser, Op.Cit. hlm. 273-278

[29] Lihat R. Hardawiryana (Penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), hlm. 124. Dokumen Konsili Vatikan II ini yang membahas tentang Lumen Gentium mendapat penegasan dari kutipan Injil Matius 5: 48, “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya”.

[30] Lihat Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, A Concise Dictionary of Theology, 1991; translated by I. Suharyo, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 321

[31] Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae Volume 28 (Ia2ae. Q.90-94): Law and Political Theory; edited and translated by Thomas Gilby from Latin to English, (London: Eyre & Spottiswoode (London) and McGraw-Hill Book Company (New York), 1964), hlm. 17. “Law is nought else than an ordinance of reason for the common good made by the authority who has care of the community and promulgated.”

[32] Karl Heinz Peschke, Op. Cit., hlm. 128. lihat juga Aristoteles, The Nicomachean Ethics; diterjemahkan Embun Kenyowati, Nicomachean Ethics: sebuah Kitab Suci Etika (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 139

[33] Karl Heinz Peschke, Op. Cit., hlm. 173 dan 175

[34] Lihat S. Th. I -II. Q.90-94, Op. Cit., hlm. 5-97. Bagian hukum kodrat, saya intisarikan dari halaman itu. Lihat juga Timothy E. O’Connell, Principles For A Catholic Morality (Chicago: The Seabury Press, 1978), hlm. 175. The principle of natural law is “do good and avoid evil, give to everyone their due".

[35] J. A. Selling (Editor), Op. Cit., hlm. 47. Kata “substantiation” adalah kata yang jarang ditemukan dalam Kamus bahasa Inggris. Kata ini merupakan sinonim dari substantial atau substance (substansi/inti).

[36] Prinsip dasar hukum kodrat Thomas Aquinas dapat dilihat dalam kutipan lengkap ini: “Sicut autem ens est primum quod cadit in apprehensione simpliciter, ita bonum est primum quod cadit in apprehensione practicae rationis, quae ordinatur ad opus. Omme enim agens agit propter finem, qui habet rationem boni. Et ideo primum principium in ratione practica est quod fundatur supra rationem boni; quae est, bonum est quod omnia appetunt. Hoc est ergo primum praeceptum legis, quod ‘bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum’ ; et super hoc fundatur omnia alia praecepta legis nature, ut scilicet omnia illa facienda vel vitanda pertineant ad praecepta legis nature quae ratio pactica naturaliter apprehendit esse bona humana (S.Th., Ia2ae, Q. 94. art. 2, p. 80-81 : As to be real first enters into human apprehending as such, so to be good first enters the practical reason’s apprehending when it is bent on doing something. For every agent acts on account of an end, and to be and end carries the meaning of to be good. Consequently the first principle for the practical reason is based on the meaning of good, namely that it is what all things seek after. And so this is the first command of law, ‘that good is to be sought and done, evil to be avoided’; all other commands extend to all doing or avoiding of things recognized by the practical reason of itself as being human goods)” .

[37] Lihat Timothy E. O’Connell, Op. Cit., hlm. 20-207. “Natural law and the law of Christ are identical “existentially”…the humanity which has existed is supranaturally endowed humanity, Christian humanity. Thus the natural law is existentially identical with the law which is Christ himself

[38] Russel M. Abata, Op. Cit., hlm. 37-46

[39] Lihat Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral, Op. Cit., hlm. 329. Lihat juga R. Hardawiryana (Penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Op. Cit., hlm. 522. Menurut dokumen Konsili Vatikan II, dosa adalah pemberontakkan terhadap Allah, keinginan untuk mencapai tujuannya di luar Allah. Manusia yang sering jatuh dalam dosa adalah manusia yang menyalahgunakan kebebasanya (bdk. Gadium et Spes. art. 13). Lihat juga Timothy E. O’Connel, Op. Cit., hlm. 68-69. Lebih jauh Timothy E. O’Connel menulis demikian: “Sin is our recurring refusal to accept the claims of the God of revelation upon ourselves…idolatry is the ultimate sin and the paradigmatic sin”.

[40] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral, Op. Cit., hlm. 330

[41] Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae Volume 26 (Ia2ae. Q.81-85): Original Sin; edited and translated by T. C. O’ Brien from Latin to English, (London: Eyre & Spottiswoode (London) and McGraw-Hill Book Company (New York), 1964), Q. 84. art. 2, hlm. 65-66

[42] Idem., S. Th. Ia2ae. Q. 84. art. 1, p. 60-61. Bagian ini kemudian diterjemahkan oleh T. C. O’ Brien ke dalam bahasa Inggris demikian: signifying the immorderate craving for any sort of temporal good, it is a generic element of all sin. For every sin involves a disordered turning to transient good.

[43] Lihat sub bab sebelumnya (sub bab 3. 2 tentang hukum kodrat, di sana saya uraikan gagasan Thomas Aquinas bahwa tindakan yang contra naturam termasuk kategori dosa).

[44] Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 124-135. Bdk. juga Franz Maginis-Suseno, Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 103-104

[45] Lihat K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm. 87

[46] Dalam Kitab Suci secara eksplisit diserukan bahwa cinta kasih terhadap sesama harus sama besarnya dengan cinta diri: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Im 19 : 18; Mat 22:34-40; Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28; Yoh 13:34-35)

[47] William Chang, Op.Cit., hlm. 31-34

[48] Idem., hlm. 31-32. Bagian paragraf ini saya sadur dari halaman itu.

[49] Idem., hlm. 32

[50] Idem., hlm. 33

[51] Lihat Kees Bertens, Sketsa-Sketsa Moral: 50 Esai Tentang Masalah Aktual (Jogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 89–92. Ulasan tentang prinsip fundamental dari Uskup Murphy (prinsip pertama hingga prinsip kelima) saya diintisarikan dari halaman-halaman ini. Lihat juga James Rachels, The Elements of Moral Philosophy , Fourth Edition (New York: McGraw-Hill Companies, Inc.); translated by A. Sudiarja, Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 25-26

[52] Lihat prinsip double effect pada bab 2. Dalam kasus ini juga bisa diterapkan prinsip minus malum: memilih yang jahat/jelek dari yang terjahat/terjelek.

[53] Lihat Robert J. Daly, Christian Biblical Ethics, From Biblical Revelation to Contemporary Christian Praxis: Method and Content (New York: Paulist Press, 1984), hlm. 68-69

[54] Lihat William Dunphy (Editor), The New Morality: Continuity and Discontinuity (London: Herder and Herder, Inc.), hlm. 17. Lihat juga Timothy E. O’Connell, Op. Cit., hlm. 30-31

[55] Patrick Hannon, Op. Cit., hlm. 16

[56] Timothy E. O’Connel, Op. Cit., hlm. 85

[57] Bdk. Robert J. Daly, Op. Cit., hlm. 39-40


Daftar Pustaka

1. Aquinas, St. Thomas. 1964. Summa Theologiae Volume 26 (Ia2ae. 81-85): Original Sin; edited and translated by T. C. O’ Brien from Latin to English. London: Eyre & Spottiswoode (London) and McGraw-Hill Book Company (New York)
2. ________________ . 1964. Summa Theologiae Volume 28 (Ia2ae. 90-97): Law and Political Theory; edited and translated by Thomas Gilby from Latin to English. London: Eyre & Spottiswoode (London) and McGraw-Hill Book Company (New York)
3. Aristoteles. 2004. The Nicomachean Ethics; diterjemahkan oleh Embun Kenyowati, Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika. Bandung: Mizan
4. Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
5. Bertens, Kees. 2004. Sketsa-sketsa Moral: 50 Esai Tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius
6. ___________ . 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius
7. Böckle, Franz. 1980. Fundamental Moral Theology. United States of America: Gill and Macmillan Ltd
8. Chang, William. 2001. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius
9. C. Sparks, Richard. 1996. Contemporary Christian Morality: Real Questions Candid Responses. New York: The Crossroad Publishing Company
10. Dunphy, William (Editor). 1967. The New Morality: Continuity and Discontinuity. London: Herder and Herder, Inc
11. E. Curran, Charles. 1992. The Living Tradition of Catholic Moral Theology. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press
12. E. O’Connell, Timothy. 1978. Principles for a Catholic Morality. Chicago: The Seabury Press
13. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 10. 1990. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka
14. Encyclopedia Americana, International Edition, Volume 19. 1975. New York: Americana Corporation
15. J. Daly, Robert. 1984. Christian Biblical Ethics, From Biblical Revelation to Contemporary Christian Praxis: Method and Content. New York: Paulist Press
16. Hannon, Patrick. 1992. Church, State, Morality and Law. Irlandia: Gill and Macmillan Ltd
17. Hardawiryana, R. (Penerjemah). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor
18. Kieser, Bernhard. 1987. Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan. Yogyakarta: Kanisius
19. Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius berkerja sama dengan Penerbit Obor
20. L. Barnhart, Clarence and Robert K. Barnhart (Editor). 1983. The World Book Dictionary, Volume 2. Chicago: Doubleday & Company, Inc.
21. M. Abata, Russel. 1996. Is Love in and Sin Out?: A Look at Basic Morality; disadur secara bebas oleh staf Yayasan Cipta Loka Caraka, Berdosa Demi Cinta?: Beberapa Masalah Dasar Sekitar Suara Hati. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka
22. Magnis-Suseno, Franz. 1975. Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
23. _________________. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
24. O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia. 1996. A Concise Dictionary of Theology; translated by I. Suharyo, Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius
25. Peschke, Karl Heinz. 2003. Etika Kristiani, Jilid I: Pendasaran Teologi Moral. Maumere: Ledalero
26. _________________. 2003. Etika Kristiani, Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero
27. Rachels, James. 2004. The Elements of Moral Philosophy; translated by A. Sudiarja, Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
28. Selling, J. A. (Editor). 1998. Personalist Morals. Belgia: Leuven University Press
29. Tarpin, Laurentius. 2005. Arah Baru dalam Moral Katolik: Legalistik atau Personalistik ? Bandung : Diktat Perkuliahan Moral Dasar

1 komentar:

Cindy Putri Wangsajaya mengatakan...

Kak. Postingannya bagus sekali. Boleh tidak saya ambil beberapa pengertian yg bagian moral menurut Kristenuntuk tugas sekolah saya. Terima kasih, Kak.

Bestfriends