Cerita anak yang hilang adalah parabel yang menarik. Anak sulung memilih meninggalkan bapanya. Ia pergi bukan mencari sesuatu yang berharga. Ia pergi untuk berfoya-foya, berenang dalam kekacauan. Tapi, suatu saat ia menyadri diri telah berbuat salah. Ia lantas mau kembali kepada bapanya dengan tunduk dan minta maaf. Bapanya tidak memarahinya, tidak menjauhinya. Bapanya bersuka cita. Bapanya turun dari singgasananya, merangkul dan mencium anaknya itu. Tidak hanya itu, bapanya memakaikan jubah terindah dan menyuruh para pembantunya untuk menyembelih domba tambun. Bapa mengundang semua handaitaulannya.
Cerita anak hilang, benar-benar hilang dalam sikap seorang figur idola saya pada tanggal 1 Januari 2008. Seseorang hanya minta didoakan, ia tidak peduli. Ia punya alasan. Sang pemohon bantuan, mengecewakan, tidak menaati nesehat injilinya.
Saya ada saat peristiwa itu terjadi. Saya pun kecewa. Belakangan saya berpikir sesuatu yang lain dari peristiwa itu: benarkah aku jujur. Benarkah aku sungguh iba. Bagaimana jika orang yang pernah mengecewakan saya kembali meminta bantuan saya, mampukah saya melayaninya dengan sepenuh hati?
Saya sadar pengalaman ini begitu berharga. Ia adalah peristiwa yang menjadi mozaik hidup saya. Barangkali ia hanyalah sekeping kaca dalam mozaik yang ikut memperindah mozaik hidupku sendiri. Diriku tetap diriku, aku pun kadang kurang mengerti siapa diriku. Namun, di saat aku menyadari siapa diriku, di saat itu aku merealisasikan diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar