Langue adalah bahasa konvensional, bahasa yang sesuai ejaan yang telah disempurnakan, bahasa yang mengikuti tata aturan baku bahasa. Lebih jauh Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue. [4] Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya bila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Nah, tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.[5]
Tujuan linguistik adalah mencari sistem (langue) struktur dari kenyataan yang konkret (parole). Ajaran ini menjadi dasar pendekatan strukturalis. Kata struktur pertama kali diucapkan oleh Jean Piaget: struktur adalah suatu tatanan wujud-wujud yang mencakup keutuhan, transformasi (dinamis) dan pengaturan diri.[6] Dikatakan “keutuhan” karena tatanan wujud itu bukan kumpulan semata melainkan karena tiap-tiap komponen struktur itu tunduk pada kaidah-kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas di luar struktur. Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindra dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi!, dapat juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda militer.[7]
Langue seperti permainan catur, kalau saya kurangi buah catur, akan berubah dan bahkan permainan akan kacau; demikian halnya dalam langue, jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini saya ubah menjadi: makan nasi saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal. Atau dalam bahasa Latin: laudate (terpujilah), tentu jika kita merubahnya tidak sesuai dengan aturan main dalam bahasa Latin, akan kacau balau. Langue tidak tergantung pada aksara.[8] Misalnya, kata: tōten, fuolen dan stōzen; kata-kata ini di kemudian hari berubah menjadi tölen, füolen dan stōzen. Perubahan itu dari mana, kok bisa. Nah, langue tidak mau tahu dengan perubahan itu, yang penting apa yang telah dipakai secara konvensional, ya itulah langue.
Langue sangat perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu tetapi orang banyak juga mengetahuinya.
Langue, bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa. Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi tetapi terbuka bagi perkembangan.
Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).[9] Di bawah ini, kita akan melihat mekanisme langue menurut Saussure.
Pertama, Solidaritas sintagmatis. Secara keseluruhan, perbedaan bunyi dan konsep yang membentuk langue merupakan hasil dari dua macam perbandingan: asosiatif dan sintagmatis. Pengelompokkan secara asosiatif dan sintagmatis pada umumnya disusun oleh langue. Himpunan-himpunan itulah yang membentuk dan mengarahkan berfungsinya langue. Dalam solidaritas sintagmatis hampir semua satuan bahasa (kata) tergantung dari apa yang melingkunginya dituturan atau dari bagian-bagian ber-urutan yang membentuknya. Contoh: satuan seperti désireux (yang menginginkan) terdiri dari satuan bawahan, yakni désir-eux, namun keduanya bukanlah dua bagian bebas yang ditambahkan satu pada yang lain (bukan desir + eux). Satuan itu merupakan suatu hasil, suatu kombinasi dari dua unsur yang solider, yang hanya bervalensi karena keberhubungannya di dalam suatu satuan yang lebih luas. Kata “-eux” itu adalah sufiks, dan jika sufiks terpisah dari kata dasarnya, tidak ada artinya. Misalnya: satuan, tidak mungkin ditulis: satu-an. Sama halnya kata dasar, tidak otonom juga. Ia hanya ada dalam kombinasi dengan sufiks (misalnya: roul-is ‘ayunan’; roul tidak bisa diartikan sebagai ayunan tanpa diikuti akhiran –is).
Kedua, dua bentuk pengelompokkan yang berfungsi secara simultan (bersama). Saussure berpendapat bahwa dalam langue, antara asosiatif dan sintagmatif juga terjadi simultan (hadir secara bersama-sama dalam langue). Misalnya, komposisi dé-faire ‘membongkar’, kata ini mengandung dimensi sintagma sekaligus asosiasitif, karena dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi pada kata yang lain. Marilah kita lihat bagan berikut:
D é – f a i r e
Décoller
Déplacer
Découdre
dsb.
Faire
Relafaire
Contrefaire
dsb.
Selain contoh di atas, kita juga dapat melihat contoh dalam bentuk kalimat: que vous dit-il? ‘apa yang dikatakannya pada Anda?’ bisa diganti dengan kalimat: que te dit-il? ‘apa yang dikatakannya padamu?’ bahkan dapat diganti dengan kalimat: que nous dit-il? ‘apa yang dikatakannya pada kita?’ dsb. Jadi kata “Anda” (vous) dapat kita ganti dengan –mu, kita.
Ketiga, kesemenaan mutlak dan kesemenaan relatif. Yang mutlak semena artinya tanpa motif dari apa yang relatif semena. Walaupun demikian, hanya sebagian dari tanda yang sifatnya semena, sedangkan di bagian lain muncul gejala yang memungkinkan untuk mengenali tingkat kesemenaan tanpa harus menghapusnya: ‘tanda’ mungkin bersifat relatif semena. Misalnya: vingt ‘dua puluh’ tidak bermotif, namun dix-neuf ‘sembilan belas’ tidak sama tingkat kesemenaannya dengan vingt karena kata itu dibentuk dari unsur-unsur lain yang dapat digabung dengan unsur lain pula, misalnya: dix-neuf ‘sembilan belas’, vingt-neuf ‘dua puluh sembilan’, dix-huit ‘delapan belas’, soinxante-dix ‘tujuh puluh’, dsb. Jika dipisahkan dix ‘sepuluh’ dan neuf ‘sembilan’ berkedudukan sama dengan vingt ‘dua puluh’, namun kata dix-neuf merupakan kasus motif relatif.
2.3 Parole
Parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang temasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Bahasa parole misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?, dst. Jadi, parole adalah dialek atau logat. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu (dan suku tertentu) yang sadar [10], termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut:
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya: perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parole-lah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole.[11] Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi.
Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun dilafalkan secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh orang banyak.
BAB III
VALENSI, PENGERTIAN, ISI, IDENTITAS DAN REALITAS LANGUE
Melalui hubungan asosiatif dan hubungan sintagmatis, tanda bahasa dapat diuraikan dan hasilnya ialah pemerian tentang valensi. Valensi dapat kita pahami dengan menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting bukan sebagai peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari unsur-unsur luar bahasa. Tanda kita kenal dengan mendengar tetapi ucapan orang jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan adalah gagasan atau situasi yang menarik perhatian kita melalui ujaran si pembicara. Ciri utama bahasa tak dapat dicari pada bicara tetapi dalam hubungan dengan unsur-unsur luar bahasa melalui sejenis konvensi sosial. Sifat valensi (nilai) menyangkut substitusi (penggantian) suatu benda yang berlainan. Contohnya uang. [12] Uang dapat digantikan dengan barang yang nilainya sama. Misalnya, ada roti yang harganya Rp 200, lantas saya beli dengan mengeluarkan uang Rp 200. Nah, uang yang Rp 200 dengan roti tersebut sama nilainya, asal kita juga menganggapnya demikian.
Valensi linguistik harus didekati dari sudut konseptual dan material dalam arti pikiran tanpa ungkapan dalam kata-kata hanyalah benda yang tak jelas atau tidak punya bentuk. Contoh, dalam pikiran saya mau membeli roti, tetapi saya juga harus “mengartikulasikannya atau mengatakannya kepada penjual, kalau tidak, siapa yang tahu bahwa saya mau membeli roti?”. Contoh lain lagi: kuda dalam permainan catur hilang, tetapi bisa diganti dengan yang lain asal diberi nilai (valensi) yang sama dengan kuda.[13] Langue adalah suatu sistem valensi murni: harus ada gagasan dan bunyi. [14] Setiap unsur bahasa merupakan anggota kecil, sebuah articulus (artikulasi) di mana suatu gagasan terpateri dalam suatu bunyi atau suatu bunyi menjadi tanda suatu gagasan. Langue tidak terlepas dari pikiran dan bunyi. Ia seperti kertas, kita potong sebelah pasti ikut terpotong juga sebelahnya.
Valensi selalu terdiri dari: pertama, suatu hal yang berbeda yang selalu dapat dipertukarkan dengan hal yang valensinya harus ditetapkan. Kedua, oleh hal-hal yang serupa dapat dibandingkan dengan hal yang dicari valensinya. Demikian “kata” dapat dipertukarkan dengan suatu yang berbeda yaitu gagasan, juga dapat dibandingkan dengan kata lain.[15] Yang penting dalam valensi adalah bunyi, karena perbedaan bunyi itulah yang mengandung makna. Dalam valensi harus ada sifat korelatifnya yaitu sifat semena dan sifat diferensial. Misalnya, valensi huruf “t” dapat ditulis secara berbeda setiap kali kita menulisnya, tetapi nilainya tetap “t”; inilah valensi aksara.[16] Sistem bahasa adalah sederet perbedaan bunyi yang dikombinasi dengan sederet perbedaan gagasan. Dalam langage ada tuturan dan ada konsep (ada peristiwa dan ada tata bahasa bahasa). Misalnya, pembentukkan kata jamak Jerman jenis Nacht: Nächte. Setiap unsur yang hadir di dalam peristiwa tata bahasa (tunggal tanpa umlaut dan tanpa “e” final, diposisikan dengan jamak dengan umlaut dan e-) dibentuk oleh sederet oposisi di dalam lingkungan sistem. [17]
Pengertian (Perancis: signification) didefenisikan sebagai asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep. Jadi, pada dasarnya signification sama dengan makna referensial dalam semantik. Sedangkan “isi” (Perancis: contenu) dari sistem bahasa (langue) mencakup pengertian dan valensi.[18]
Apa yang dimaksud dengan identitas sinkronis? Yang dimaksud dengan identitas sinkronis terdapat dalam kalimat Perancis: “Je ne sais pas”, ‘saya tidak tahu’ dan “ne dites pas cela”, ‘jangan katakan hal itu. Kedua kalimat ini mengandung unsur yang sama (pas) dikenakan makna yang sama. Identitas bahasa adalah unik, karena – misalnya - setiap saya menyebut kata yang sama, saya memperbaharui materinya sehingga terjadi tindak pembunyian yang baru serta tindak psikologis yang baru. [19] sedangkan yang dimaksud dengan realitas sinkronis langue adalah seperti kata sifat (adjektif) dan kata kerja (substantif).
BAB IV
SINKRONIK DAN DIAKRONIK
Linguistik sinkronis adalah semua yang berhubungan dengan segi statis dalam ilmu. Sedangkan linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis). Misalnya, kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Tetapi di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal.[20] Ini adalah dimensi diakronis langue. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. [21] Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapapun.
Sinkronis dapat kita pahami seperti ini: dalam bahasa Perancis, tekanan selalu terletak di suku kata terakhir, kecuali kalau suku kata terakhir mengandung e pepet (seperti “ə”). Ini adalah fakta sinkronis, yakni suatu hubungan antara himpunan kata bahasa Perancis dan tekanan. Tetapi fakta ini juga berasal dari keadaan masa lalu (diakronis). Langue adalah suatu mekanisme yang terus berfungsi meskipun mengalami perusakan. Langue adalah suatu sistem yang bagian-bagiannya dapat dan harus diamati di dalam kesaling-tergantungan sinkronis. Di dalam langue, setiap unsur memiliki nilainya dalam oposisi dengan unsur lain. Perubahan hände menjadi hanti bersifat spontan atau kebetulan atau tanpa motif, tanpa maksud.
Ada kasus khusus dalam linguistik sinkronis dan diakronis. Contohnya: poutre (kuda betina) di kemudian hari pengertiannya berubah menjadi “tiang penunjang” (jadi maknanya berubah). Kata tersebut tetap tetapi pengertian masyarakat akan kata itu yang berubah.[22] Jadi fakta historis atau diakronis mengikuti fakta sinkronis. Menurut Saussure, kata oposisi bukan kata biner, bukan juga dualisme. Oleh karena itulah, sinkronis menganggap gast beroposisi dengan gäste, gebe beroposisi dengan gib, dst. Sedangkan diakronis menganggap gast berubah menjadi gaste. Diakronis hanya hadir dalam parole. Karena segala perubahan pertama kali dilontarkan individu sebelum masuk dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman memiliki: ich war, wir waren, sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI menasrifkannya: ich was, wir waren dan dalam bahasa Inggris: I was, we were. Nah, bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was? Saussure mengatakan, pasti ada beberapa orang yang terpengaruh oleh waren kemudian menciptakan war dengan jalan analogi; ini adalah fakta dalam parole. Tetapi karena kata tersebut sering diulang dan diterima oleh masyarakat, maka kata tersebut menjadi fakta dalam langue.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi langue yang ia lihat melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. [23] Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama. [24]
BAB V
TANDA, PENANDA DAN PETANDA
Strukturalisme Perancis tidak bisa dipisahkan dari semiologi Saussure. Bagi beliau, semiologi adalah ilmu pengetahuan umum tentang tanda. Dan, tanda tidak hanya sekedar kata, tetapi tanda mencakup kata dan konsep. Dengan kata lain, tanda adalah kombinasi antara konsep dan gambaran akustik. Misalnya, arbor (artinya pohon) adalah tanda bahasa. Sedangkan “pohon” adalah konsep.
Linguistik yang ilmiah adalah linguistik yang harus sesuai dengan ujaran-ujaran dan pola-pola yang dipaksakan (diterapkan secara konvensional) oleh masyarakat bahasa. Langue adalah objek linguistik yang konkret dan integral; ia merupakan khasanah tanda karena ia didasarkan pada konvensi sosial. Dengan cara pandang semacam ini, sebenarnya pandangan Saussure sejalan dengan Whitney: tanda bahasa adalah wujud psikis karena ia tidak mempertimbangkan wujud dari parole.
Dalam tanda bahasa harus dibedakan: Pertama, citra akustis (image acoustique) yang notabene bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan dalam ujaran yang diucapkan. Salah satu manfaat konsep citra akustis adalah bahwa komponennya jelas batasnya. Citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak (contohnya: bunyi gemuruh, bagaimana menuliskannya dengan kata-kata?). Citra bunyi adalah keseluruhan unsur fonem yang jumlahnya terbatas dan dapat diwujudkan dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan. Kedua, bagian lain dari tanda bahasa adalah konsep. Konsep lebih abstrak daripada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata, dan secara langsung bergantung pada citra bunyi. Itulah sebabnya Saussure mengatakan bahwa tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: konsep itu signifie (yang ditandai atau petanda) dan citra akustis itu signifiant (yang menandai atau penanda).[25] Tanda adalah konkret dalam arti tidak ada satupun yang ditinggalkan dari defenisi yang diperlukan oleh sudut pandangnya karena sudut pandangnya itulah yang menciptakan objek: sudut pandang menentukan apa yang dianggap konkret (menyeluruh) sebagai lawan dari abstrak (sebagian).[26] Saussure berpendapat bahwa tanda adalah berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif, derivatif). Ada dua jenis tanda: tanda tunggal dan tanda sintagma.
Semua tanda tersebut memiliki sifat utama, yakni:
Pertama, prinsip arbitrer (kesemenaan). Kesemenaan tanda bahasa dalam arti tidak ada motivasi aspek bunyi dalam benda yang ditandainya dan hanya terdapat dalam tanda tunggal. Sedangkan dalam sintagma, seperti kata majemuk, frasa terdapat motivasi relatif, misalnya bentuk inflektif (perubahan nada suara) diwujudkan secara sama untuk memenuhi hubungan makna yang sama atau konstruksi sintaksis yang dipergunakan dalam situasi yang sama diwujudkan secara sama pula. Kesemenaan merupakan bentuk umum dari kemampuan biologis manusia untuk mengkoordinasikan dan mengasosiasikan (pada waktu yang sama) sehingga melahirkan sistem bahasa yang berbeda bagi setiap masyarakat. Dengan kata lain, kesemenaan adalah tempat manusia membuat sejarah pada dirinya. Tetapi harus diperhatikan bahwa ciri lambang tidak selalu semena, tidak hampa. Sebab, ada suatu dasar dari ikatan alami antara penanda dan petanda. Misalnya, lambang keadilan adalah timbangan, tidak mungkin diganti dengan sembarang lambang, misalnya dengan lambang kereta. Walaupun demikian, semena bukan berarti penanda tergantung dari pilihan bebas penutur melainkan semena adalah tanpa motif. [27]
Untuk mengerti bagaimana suatu kata disebut semena, marilah kita ikuti uarian ini: tiba-tiba saya berteriak kepada ayah saya yang kebetulan lewat di depan saya “ayah, tunggu aku!”. Kata ayah di situ bersifat semena atau tanpa motif karena untuk menyebut kata “ayah” tentu saya tidak perlu berpikir terlebih dahulu dan tidak perlu saya mencari-cari kata apa yang harus saya serukan untuk memanggil laki-laki yang lewat di depan saya; dan tidak mungkin saya berkata: ya sudah, saya panggil saja ayah saya sebagai “ibu”, tidak mungkin.[28] Walaupun demikian, jika dalam bentuk kalimat, langue tidak seluruhnya semena karena langue adalah suatu sistem; dan sistem memiliki nalar tertentu. Misalnya: Saya makan nasi (S+P+K), tidak mungkin saya balik: makan nasi saya. Tetapi justru karena alasan inilah masyarakat tak mampu mengubah langue sesuka hatinya.
Kedua, prinsip kelinearan tanda bahasa. Hal ini paling nampak dalam signifiant, yaitu dalam rangkain wicara. Dan, hal ini yang membedakan bahasa dengan tanda lain (entah parole dan juga langage). Penanda akustis hanya ada dalam garis waktu; unsur-unsurnya terungkap satu persatu. Semua itu membentuk suatu rangkain.[29]
Ketiga, prinsip tak tertukarkan (ketakterubahan). Saussure memberi 4 alasan mengapa tanda tak tertukarkan: 1) karena tanda bersifat arbitrer; 2) walaupun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan yang sifatnya arbitrer karena unsur-unsurnya terbatas, namun karena tanda bahasa tak terbatas jumlahnya, maka ketakterbatasan tersebut menghalangi perubahan bahasa; 3) bahasa merupakan sistem yang sangat rumit; 4) bahasa adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan semua orang. Oleh sebab itu, di antara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi perubahan kebiasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa diwarisi. Dan penerima warisan itu menerima begitu saja (pasif) dan bahkan menjadi bahasa konvensional. Penanda seolah dipisah secara bebas tetapi jika dipandang dari masyarakat bahasa yang memakainya, penanda bahasa tak bebas, ia dipaksakan. Penanda yang dipilih oleh langue tidak mungkin diganti dengan yang lain. Contoh: pilihlah!, tidak mungkin saya ganti tanda bahasa di dalam kata itu menjadi “pilihlah?”. Jadi, masyarakat tidak dapat memaksakan kemauannya pada satu kata, masyarakat terikat pada langue seperti apa adanya. Singkatnya, langue tidak dapat diikat dengan suatu kontrak dan justru karena itulah tanda bahasa begitu menarik untuk diteliti. Sebab, kalau kita ingin memperlihatkan bahwa hukum yang diterima dalam suatu masyarakat sebagai sesuatu yang kita turuti dan bukan aturan yang ditetapkan secara bebas oleh individu, langue-lah yang paling cocok sebagai analoginya. Lambang bahasa atau langue tidak tunduk pada kemauan kita; ia adalah warisan dari abad sebelumnya. Misalnya, pemerian nama pada benda atau hal, merupakan warisan dari zaman dahulu. Jadi, langue juga merupakan hasil dari faktor historis, dan itu sebabnya langue tak terubahkan.
Keempat, prinsip tertukarkan (keterubahan): sifat ini terjadi jika kita menggunakan sudut pandang historis yang menimbulkan pergeseran hubungan antara signifiant dan signifié sebagai akibat perubahan bunyi dalam pergeseran analogi. [30] Tanda selalu berganti karena tanda bersifat sinambung. Pergantian tanda selalu mengakibatkan perubahan hubungan antara petanda dan penanda. Misalnya, kata “nēcare” (Latin) dikemudian hari berubah menjadi “necare”. Atau contoh lain adalah kata “dritteil” (kata Jerman klasik) berubah menjadi “drittel” (kata Jerman modern). Jadi, penanda berubah, baik secara material maupun secara gramatikal. Namun, sebuah langue sama sekali tidak berkekuatan untuk mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu mengubah hubungan antara penanda dan petanda; hal ini adalah salah satu konsekuensi dari kesemenaan lambang. [31] Prinsip dasar bahasa adalah tata nama. Artinya, sebuah kata mewakili “hal” atau “benda”. Prinsip ini mengandaikan adanya “benda” sebelum ada kata. Tetapi kata tak jelas apakah berwujud bunyi atau psikis.
BAB VI
HUBUNGAN ASOSIATIF DAN HUBUNGAN SINTAGMATIS
6.1 Hubungan Asosiatif
Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain. Dan, karena satuan itu berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna, inilah yang disebut hubungan asosiatif atau paradigmatis. Hubungan asosiatif juga disebut in absentia, karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran. Asosiataif bersifat psikis: bisa berbicara dengan diri sendiri tanpa mengamati bibir dan geraknya ketika seseorang berbicara. Contoh hubungan asosiatif dalam kehidupan sehari-hari adalah terdapat dalam kata burung. Kata “burung” ini bisa diasosiasikan sebagai alat kelamin laki-laki. Jadi, asosiasi mengandung makna konotasi.
Asosiasi berarti juga ada unsur yang sama dalam pembentukkannya, misalnya: ships dapat diasosiasikan dengan birds, flags, dst. Dix-neuf (sembilan belas) secara asosiasi solider dengan dix-huit (delapan belas) dan soixante (tujuh puluh), dan sebagainya, dan secara sintagmatis, solider dengan unsur-unsurnya yaitu dix (sepuluh) dan neuf (sembilan). Hubungan ganda itulah yang memberinya sebagian dari valensinya; dan solidaritas inilah yang membatasi kesemenaan.
Sedangkan hubungan-hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan sintagmatis disebut juga hubungan in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama wicara. Dalam wacana, kata-kata bersatu demi kesinambungan, hubungan yang didasari oleh sifat langue yang linear, yang meniadakan kemungkinan untuk melafalkan dua unsur sekaligus. Unsur-unsur itu mengatur diri yang satu sesudah yang lain di rangkaian parole. Kombinasi tersebut yang ditunjang oleh keluasan, dapat disebut: sintagma. Jadi, sintagma selalu dibentuk oleh dua atau sejumlah satuan kata ber-urut-an, misalnya: relire (membaca kembali), contre tous (menentang semuanya), la vie humaine (kehidupan manusia): Dieu est bon (Tuhan Maha Pengasih), s’il fait beau temps, nous sortirons (jika cuaca cerah, kami akan keluar), dst. [32] Begitu terletak di dalam suatu sintagma, suatu istilah akan kehilangan valensinya karena istilah itu dipertentangkan dengan istilah yang mendahului dan mengikuti atau dengan keduanya.
Kata-kata yang mempunyai kesamaan ber-asosiasi di dalam ingatan. Oleh karenanya, membentuk kelompok tempat berbagai hubungan berkuasa. Marilah kita ambil contoh: ketika saya melihat kata “enseignement” (penjajah), secara tidak sadar akan muncul di dalam pikiran saya sekelompok kata lain (misalnya: enseigner ‘mengajar’, renseigner ‘menerangkan’, dst. [33] Apa yang Anda pikirkan jika saya mengucapkan kata “belajar”? pasti Anda berpikir tentang pengajar, murid, ada guru, ada ruangan, dst, itu adalah contoh mekanisme asosiasi. Jadi, hubungan asoasi adalah in absentia karena ketika membaca satu kata, dalam pikiran kita bisa muncul sederet kata lain, walaupun tak ada dalam buku bacaan yang kita baca. [34]
Sedangkan hubungan sintagmatis, menurut Saussure, bersifat in praesentia. Sintagmatis dapat berupa: kata majemuk, kata turunan (misalnya sagen menjadi sagt) dan kalimat. Contoh: contramaitre (mandor). Kata ini adalah kata majemuk: contre ‘kontra’ dan maitre ‘guru’. Kalimat (sintagma) adalah bagian dari parole bukan langue karena ada proses tutur sehingga terjadi perubahan kata. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa semua sintagma adalah parole, karena ada ungkapan (dalam bentuk kalimat) yang menjadi langue; karena ungkapan itu merupakan ungkapan baku yang tidak dapat diubah oleh adat bahasa (misalnya: allons donc! ‘ayo’, a quo bon? ‘untuk apa?’, prendre la mouche ‘naik pitam’, a force de ‘berkat’, rompre une lance ‘memperjuangkan’, dst. Ungkapan baku yang telah dikenal umum oleh masyarakat Indonesia, misalnya, “dalamnya laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu” tidak mungkin saya menggantikannya menjadi “dalam hati dapat diduga, dalam laut siapa tahu.
BAB VI
SISTEM AKSARA
6.1 Sistem Aksara
Menurut Saussure, ada dua Sistem Aksara, yakni: Pertama, sistem ideografi: kata diungkapkan oleh sebuah lambang tunggal dan tak ada hubungannya dengan bunyi-bunyi yang membentuknya, contoh aksara China.
Kedua, sistem fonetis: mereproduksi urutan bunyi yang berurutan dalam kata (kadang-kadang silabis dan alfabetis) artinya didasari unsur-unsur parole yang tidak teruraikan.
Langue berkembang terus dan aksara cenderung tetap. Akibatnya tidak sesuai lagi dengan apa ayang dilambangkannya, yang logis pada saat tertentu, menjadi tidak logis pada abad kemudian. Suatu saat orang mengubah lambang grafis untuk menyesuaikannya dengan perubahan ucapan.[35] Misalnya, pada abad XI di Perancis terdapat perbedaan antara cara baca (cara mengungkapkan) dengan cara menulis, seperti bagan berikut:
Abad
Orang mengucapkan
Orang menulis
XI
Rei, lei
Rei, lei
XIII
Roi, loi
Roi, loi
XIV
Roe, loe
Roi, loi
XIX
Rwa, lwa
Roi, loi
Selain contoh di atas, ada juga ketidaksesuaian antara cara baca (lafal) dengan cara tulis (grafik), misalnya, diucapkan ẻveyẻr tetapi kata itu ternyata ditulis “eveiller”. Selain itu juga ada persoalan dalam pelafan misalnya, dalam bahasa Jerman ada huruf yang hanya didasarkan pada sifat mereka-reka.[36]
6.2 Fonologi
Menurut Saussure, fonetik adalah studi evolusi bunyi, ilmu historis, menganalisis peristiwa, perubahan bergerak bersama waktu.[37] Walaupun demikian, kata Saussure, fonologi berada di luar waktu karena mekanisme pelafalan selalu serupa. Tetapi sebenarnya fonologi hanya suatu disiplin bantu dan bergerak di tataran parole. Padahal, yang mau ditelusuri oleh Saussure lebih pada langue. Sebab, langue merupakan sistem yang didasari oposisi psikis dari bunyi-bunyi seperti permadani merupakan karya seni yang dihasilkan oleh oposisi visual di antara benang dengan berbagai warna. Tetapi yang terpenting adalah percaturan oposisi dan bukan cara menghasilkan warna-warna.
6.2.1 Aksara fonologis
Prinsip aksara fonologis aksara harus dapat dilambangkan dengan suatu tanda, setiap unsur di dalam rangkaian tuturan. Aksara fonologis harus tetap hanya digunakan oleh para ahli linguitik. Aksara berkaitan dengan bentuk tulisan sedangkan fonologi berkaitan dengan ucapan atau fonetik atau cara baca.
6.2.2 Fonem
Pembatasan bunyi-bunyi pertuturan hanya dapat dilakukan atas dasar kesan akustis tetapi deskripsi hanya mungkin dibuat berdasarkan tindak artikulasi karena satuan-satuan akustis tertangkap dalam bentuk rangkaian tak teranalisis. Dalam bunyi ada keseragaman yang sama dalam tugas laring dan rongga hidung; sedangkan keaneka-ragaman yang sama terjadi di dalam tugas rongga mulut. Tetapi yang menghasilkan variasi fonologis yang membuat kita dapat membedakan bunyi bahasa adalah bunyi laring seragam. Menurut Saussure, hidung berperan sebagai resonator bagi getaran berbunyi yang melaluinya; sehingga dengan demikian, hidung juga menrupakan penghasil bunyi. Rongga mulut berperan sebagai genesator dan resonator.[38]
Penutup
Hari-hari ini bahasa dipandang begitu penting oleh kaum strukturalis dan filsuf lainnya. Mengapa? Karena bahasa adalah alat aktualisasi dan artikulasi diri. Kita mampu memaknai pengalaman kita lewat bahasa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi-interaktif dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa ada banyak sisi negatif dari bahasa. Dewasa ini, bahasa bukan hanya difungsikan sebagai media komunikasi tetapi bahasa juga menjadi medan persembunyian diri. Bahasa menjadi ranah memperjuangkan ideologi-ideologi tersembunyi yang sering menindas dan mendatangkan neraka bagi yang lain.
Postinus Gulö adalah lulusan Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Footnotes
[1] Lihat Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 2-3 dan 374-378
[2] Ibid., hlm. 24
[3] Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, Ibid., hlm. 6. Lihat juga Christopher John Murray (Editor), Encyclopedia of Modern French Thought (New York: Taylor & Francis Group), hlm. 574-575. For Saussure, langue was the linguistic code, the set of conventions one learns when acquiring a language. It is independent of any individual’s conscious attempt to modify the linguistic system. Saussure considered langue to be true object of linguistics. Parole refers to the collectivity of all linguistic utterances made by speakers of a certain language. That is, parole is the dynamic expression of langue. whereas langue is social, parole is individual, and two together comprise what Saussure calls langage.
[4] hlm. 155
[5] hlm. 9
[6] Maksud dari “pengaturan diri” adalah bahwa struktur tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk
melaksanakan prosedur tranformasional, jadi struktur itu bersifat tertutup.
[7] hlm. 82-84
[8] hlm. 93
[9] hlm. 193
[10] hlm. 6
[11] hlm. 86
[12] hlm. 17-18
[13] hlm. 203
[14] hlm. 204
[15] hlm. 209-210
[16] Bandingkan hlm. 212-215
[17] hlm. 217
[18] hlm. 20
[19] hlm. 200
[20] hlm. 167
[21] hlm. 169
[22] hlm. 178
[23] hlm. 175
[24] hlm. 187
[25] hlm. 13. Petanda merupakan kelas makna sedangkan penanda merupakan kelas pembunyian
[26] hlm. 13
[27] hlm. 149
[28] hlm. 154-155
[29] hlm. 80 dan 150
[30] hlm. 15-16
[31] hlm. 157
[32] hlm. 219
[33] hlm. 79-80 dan 221
[34] hlm. 220
[35] hlm. 96
[36] Lihat hlm. 100-101
[37] hlm. 103
[38] hlm. 115-116